Rabu, 12 Mei 2010

PEMBELAJARAN KETERAMPILAN MENULIS: YANG TERPENTING ADALAH GURU

Anang Santoso
Fakultas Sastra UM

1. Pengantar
Pernyataan penyair Taufik Ismail bahwa bangsa kita adalah bangsa yang “rabun membaca dan lumpuh menulis” telah menyentak kita semua. Meskipun mungkin terlalu provokatif, kita semua semakin sadar akan keku-rangan kita sebagai bangsa. Bangsa yang kita cintai ini “ternyata” belumlah mencapai tahapan awal sebuah bangsa maju & beradab yang disebut dengan kemahirwacanaan atau keberaksaraan (literacy) yang ukurannya paling tidak adalah “tidak rabun membaca dan tidak lumpuh menulis”. Sebaliknya, yang kita jumpai di dalam masyarakat kita adalah budaya yang menonjolkan “me-nyimak-berbicara” atau “dengar-omong”. Dengan kata lain, ternyata kita masih berada pada tahap budaya kelisanan (orality) yang mengandalkan dua akti-vitas itu. Persoalan ini membawa kita kepada akar penyebabnya. Kalau sudah demikian yang menjadi kambing hitam tentunya adalah dunia pendidikan, le-bih khusus lagi adalah dunia persekolahan, dunia kita semua. Dunia perse-kolahan menjadi tertuduh tanpa barang bukti yang autentik dan alamiah. Ha-ruskah kita marah? Tidak usah marah! Nanti bisa darah tinggi. Obat sekarang harganya melangit dan selangit.
Jauh sebelum Taufik Ismail menyentak kita dengan pernyataannya itu, Prof. Sadtono, M.A., Ph.D. sudah mengingatkan kita bahwa para alumni per-guruan tinggi di Indonesia (D3 atau S1) hasil karya tulisnya—paling tidak da-lam bidang akademis—jauh dari memuaskan alias memprihatinkan. Tulisan-tulisan tugas akhir mahasiswa D3 atau skripsi mahasiswa S1 pada umumnya belum mencapai taraf “layak” untuk disebut sarjana atau ahli madya. Lebih ironis lagi, ternyata beberapa kasus mahasiswa S3—yang notabene mayoritas adalah dosen yang seharusnya memiliki kualitas tulisan yang memadai—tulisannya juga demikian. Pengalaman menulis menjadi konsultan bahasa un-tuk penulisan disertasi universitas negeri ternama di Jawa Timur keadaannya juga sungguh memprihatinkan kalau tidak ingin dikatakan ironis. Dari se-puluh disertasi dalam bidang ekonomi yang disunting, 1 disertasi terkategori bagus, 1 disertasi cukup bagus, dan 8 disertasi amat memprihatinkan. Buruk-nya tulisan itu tampak antara lain pada (1) penulisan ejaan dan tanda baca yang tidak sesuai dengan kaidah, (2) penyusunan kalimat yang tidak efektif, (3) penataan paragraf yang sembarangan, serta (4) penataan bentuk karang-an yang tanpa konsep. Prihatin, prihatin, prihatin. Ironis, ironis, ironis. Harus-kah kita malu? Harus malu!
Kalau sudah demikian, siapa yang harus disalahkan. Yang bijaksana adalah kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Semuanya toh menjadi lingkaran setan. Semuanya sudah seperti benang kusut. Sistem budaya kita yang belum memberikan apresiasi terhadap orang yang memiliki kemampuan dalam menulis mungkin menjadi salah satu penyebab (jika kita ingin mencari akar permasalahannya). Banyak contoh yang ada di sekitar kita yang dapat memberikan gambaran terhadap keadaan ini.

2. Menulis
2.1 Pengertian
Sudah banyak rumusan tentang pengertian menulis. Dalam bagian ini, akan ditampilkan dua rumusan saja. Menulis atau mengarang merupakan akti-vitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran, atau perasaan ke dalam lambang-lambang kebahasaan (Akhadiah, 1988). Menulis adalah keseluruhan rangkai-an kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami secara tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Lima kata kunci jika kita sedang membicarakan menulis adalah (1) penuang-an informasi, (2) pikiran (gagasan atau pendapat), (3) bahasa tulis, (4) un-tuk pembaca, dan (5) terpahami.
Kegiatan menulis melibatkan aspek-aspek (1) penggunaan tanda ba-ca dan ejaan, (2) penggunaan kosa-kata, (3) penataan kalimat, (4) pe-ngembangan paragraf, (5) pengolahan gagasan, dan (6) pengembangan model karangan. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa kegiatan menu-lis melibatkan aspek isi dan aspek bahasa. Aspek isi atau topik berkenaan dengan masalah pengembangan topik ke dalam ide-ide atau pikiran-pikiran yang relevan, serta pengorganisasiannya. Aspek bahasa berkenaan dengan penggunaan tatabahasa, kosakata, serta ejaan untuk mewadahi topik itu.
2.2 Kemampuan Dasar Menulis
Banyak pakar mengatakan bahwa menulis merupakan suatu keteram-pilan yang dapat dipelajari. Saya setuju dengan pandangan itu. Dengan pernyataan ini, paling tidak kita dapat mengeliminasi pandangan-pandangan yang tidak seluruhnya benar, seperti “menulis itu adalah bakat”, “menulis itu keturunan”, “menulis itu garis tangan”, dan sebagainya. Menurut Syafi’ie (1988:48) orang yang tidak berbakat menulis, tetapi ia mau belajar menulis dengan sungguh-sungguh dan mendapat kesempatan belajar menulis, ia akan dapat menjadi seorang penulis. Sebaliknya, orang yang berbakat me-nulis apabila tidak mau belajar dan berlatih menulis tidak menjamin ia akan menjadi seorang penulis yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, Syafi’ie (1988) menyatakan bahwa untuk dapat menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis harus memiliki beberapa kemampuan sebagai berikut. Pertama, kemampuan menemukan masalah yang akan ditulis. Orang tidak akan dapat menulis apabila ia tidak dapat menemukan masalah yang akan ditulis. Dalam konteks ini orang mem-punyai penalaran yang baik, peka terhadap keadaan di sekitarnya, mampu melihat hubungan antara gejala satu dengan gejala lainnya. Kedua, kepekaan terhadap kondisi pembaca. Calon penulis harus mengetahui kondisi calon pembacanya: apa yang telah diketahui, apa yang belum diketahui, apa yang perlu diketahui. Ketiga, menyusun perencanaan penulisan. Seorang penulis haruslah mempunyai rencana penulisan: masalah penulisan, tujuan penulisan, kegiatan-kegiatan dalam proses penulisan, jenis data yang dibutuhkan, cara mendapatkan data, sumber data & instrumen, cara mengolah data, dan ke-rangka penulisan. Keempat, kemampuan menggunakan bahasa. Dalam kon-teks ini, penulis haruslah menguasai penggunaan kaidah-kaidah tata bahasa (tata bentukan, tata kalimat, tata makna, tata wacana), kosakata, dan ejaan yang berlaku. Kelima, kemampuan memulai menulis. Seorang penulis seba-iknya memperhatikan nasihat “jangan terlalu lama memikirkan untuk memulai menulis”. Keenam, kemampuan memeriksa tulisan sendiri. Sebelum tulisan itu dianggap “jadi”, seorang penulis harus mau dan mampu memeriksa tulis-annya sendiri. Seorang penulis harus melakukan penyuntingan sendiri terha-dap hasil tulisannya sendiri.
2.3 Proses Menulis
Menurut Pappas et al. (1990), selama menulis penulis mengandalkan struktur pengetahuan tentang “dunia” untuk berkomunikasi. Dalam menulis terjadi proses mental yang amat aktif. Penulis aktif mengolah skemata tentang dunia untuk disajikan kepada orang lain. Proses menulis terdiri atas kegiatan-kegiatan (1) pramenulis (prewriting), (2) penyusunan buram (drafting), (3) re-visi (revising), (4) penyuntingan (editing), dan (5) publikasi (publishing) (Pap-pas et al. 1990; Zemelman & Daniels, 1993; Tompkins, 1994).
Kegiatan pramenulis meliputi segala sesuatu yang terjadi sebelum proses penulisan, di antaranya adalah menggali, mengingat, memunculkan, dan menghubung-hubungkan ide. Dalam konteks pembelajaran, untuk me-ngembangkan skemata dan pengalaman siswa dapat dilakukan dengan cara membaca, mengobservasi, menyimak, berdiskusi, ramu pendapat, dan seba-gainya. Kegiatan pramenulis ini biasanya diikuti dengan pengembangan ke-rangka karangan.
Kegiatan penyusunan buram adalah usaha mengkreasikan atau mengkonstruksikan teks secara utuh. Menyusun buram merupakan pengalam-an spontan dalam memproduksi teks. Selama penyusunan buram, siswa tidak usah ragu-ragu dalam menerapkan tanda baca dan ejaan. Siswa juga perlu menyadari bahwa teks yang disusun itu selanjutnya akan diperbaiki, diubah, atau disusun ulang.
Kegiatan merevisi adalah kegiatan untuk berpikir, melihat, dan meng-konstruksi kembali teks yang sudah disusun. Revisi merupakan aktivitas yang berlangsung terus-menerus, baik pada saat pramenulis maupun pada saar menyusun kerangka karangan. Penulis harus memperhatikan dengan baik apakah ide-idenya sudah diungkapkan secara jelas, runtut, dan lengkap.
Kegiatan menyunting adalah kegiatan memperhalus teks buram agar pesan-pesan yang disampaikan mudah dipahami. Kegiatan ini lebih mene-kankan upaya menata aspek kebahasaannya, seperti struktur kalimat, diksi, ejaan, dan tanda baca.
Kegiatan mempublikasikan adalah kegiatan “memamerkan”, “menso-sialisasikan”, atau “mempublikkan” karya. Kegiatan mempublikasikan tulisan merupakan kegiatan yang sangat penting karena pada kegiatan ini siswa akan memperoleh masukan terhadap teks yang sudah disusunnya itu. Masukan itu dapat diperoleh dari teman sendiri, guru, atau khalayak jika tulisan itu menjadi konsumsi publik.
Sementara itu, Sorensen (1997) menyebutkan adanya empat langkah, yakni (1) pramenulis, (2) menulis, (3) revisi, dan (4) koreksi cetakan percoba-an (proofreading). Setiap langkah itu oleh Sorensen dibagi ke dalam langkah-langkah lagi yang lebih operasional.
3. Pembelajaran Keterampilan Menulis
3.1 Prakata
Bagaimana membelajarkan keterampilan menulis, itulah pertanyaan yang akademis yang sepantasnya kita acukan pada pandangan para pakar pembelajaran. Akan tetapi, bagi saya Ibu dan Bapak Guru ibaratnya adalah para “pendekar di rimba persilatan” yang disebut dengan pengajaran bahasa Indonesia itu. Ibu dan Bapak Guru yang hadir saya yakin sudah memiliki segu-dang jurus dari A sampai Z yang siap digunakan untuk membelajarkan “topik-topik” tertentu yang disediakan di dalam “kitab persilatan” yang disebut de-ngan kurikulum berbasis kompetensi. Dalam pandangan saya, yang paling penting adalah bagaimana mempertajam, mengasah, dan memodifikasi ju-rus-jurus itu agar selalu aktual yang selanjutnya siap menghadapi tantangan dari jurus-jurus yang baru itu. Forum seperti ini tidak saya pandang sebagai arena pembekalan jurus-jurus baru, tetapi lebih saya pandang sebagai arena untuk berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan saling mengukur kemam-puan. Dalam versi lain, Ibu dan Bapak Guru adalah jago-jago samurai. Saya yakin, dari perguruan masing-masing, Ibu dan Bapak Guru sudah mengan-tongi dan menguasai 99 jurus Musashi dengan mata pedang yang terasah mata kanan dan kirinya. Forum seperti ini “lebih sekedar sebagai” arena untuk menemukan jurus ke-100 sebagai bagian dari sifat dinamis futuratif kita masing-masing.
Pada tahun 1977-1980, ketika saya masih di SMP, guru Bahasa Indo-nesia saya adalah guru favorit saya. Beliau amat “hebat” dalam mengajarkan mata pelajaran yang sebelumnya tidak begitu saya sukai itu. Beliau amat hebat dalam mengajarkan puisi “Aku”. Beliau amat hebat dalam mengajarkan menulis surat. Beliau amat hebat mengajarkan tata bahasa. Setelah sekarang baru saya sadar bahwa beliau itu adalah orang-orang yang “lebih hebat” dari “hebat”. Pada waktu itu, belumlah muncul istilah pembelajaran yang sekarang menjadi arus besar dalam dunia pendidikan. Istilah-istilah seperti “pendekatan komunikatif”, “pendekatan kebermaknaan”, “pendekatan proses”, “manajemen berbasis sekolah”, “quantum learning and teaching”, “contextual teaching and learning”, “kurikulum berbasis kompetensi”, penilaian autentik, penilain berbasis kelas, dan sebagainya. Akan tetapi, apa yang dipertunjukkan kepada kami sudah memenuhi berbagai konsep dalam dunia kependidikan itu. Pertanyaannya, mengapa beliau itu hebat dalam membelajarkan siswa-siswanya meskipun beliau belum mengenal istilah-istilah modern dalam dunia pembelajaran itu?
Apa yang dapat kita petik dari paparan di atas adalah peran sentral gu-ru dalam membelajarkan siswa. Kurikulum boleh berganti, teori belajar boleh terus lahir, pendekatan boleh bertambah, paradigma baru boleh mengguling-kan paradigma lama, dan seterusnya. Akan tetapi, peran sentral guru tetap menjadi fokus. Guru yang “hebat” bagi saya adalah variabel yang amat pen-ting dalam menyukseskan berbagai macam pembaharuan dalam kurikulum. Kurikulum boleh tidak sempurna, cacat, atau amburadul, tetapi “guru hebat” akan dapat mengolah kegiatan belajar mengajar menjadi bagus untuk meng-hasilkan keluaran yang dapat diandalkan. Yang penting kita semua adalah sikap “tidak mudah terkejut dan tidak mudah heran” dengan berbagai pende-katan baru itu. Tiga kata kunci yang amat penting dalam pembicaraan kita: GURU, GURU, GURU.
3.2 Teori Belajar Bahasa
Banyak teori yang dapat dikemukakan. Atas pertimbangan kehematan penyajian berikut ditampilkan tiga teori belajar bahasa, yakni (1) teori beha-vioristik, (2) teori mentalistik, dan (3) teori Bialystok, seperti dapat diperhatikan dalam paparan Budiyono (2001). Tiga teori ini paling tidak cukup menjadi da-sar pengembangan teori-teori pembelajaran berikutnya. Teori-teori ini selan-jutnya dipaparkan secara singkat termasuk implikasinya dalam pembelajaran keterampilan menulis.
3.2.1 Teori Behavioristik
Nama-nama seperti Pavlov, Watson, dan Skinner adalah para pende-kar dalam teori ini. Tiga kata kunci, yakni stimulus-respon, respondent, dan operant sampai sekarang masih begitu akrab dalam dunia pengajaran dan pembelajaran. Perilaku berbahasa hanya bisa dipelajari melalui pengamatan dunia sekitar pemakai bahasa, yakni pengamatan faktor-faktor eksternal. Me-nurut Skinner (1957) beberapa faktor eksternal yang penting dalam proses pembelajaran bahasa adalah (1) frekuensi, (2) peniruan, dan (3) penguatan.
Dalam pembelajaran menulis, ketiga faktor eksternal itu memiliki peran yang penting. Faktor frekuensi, misalnya, memiliki peran yang amat dominan dalam pembelajaran penulis. Frekuensi berkenaan dengan tingkat keseringan siswa berlatih menulis. Semakin tinggi tingkat keseringan berlatih menulis, siswa dimungkinkan akan terampil menulis. Oleh karena itu, agar pembelajar-an menulis dapat berhasil dengan baik, guru harus memberikan porsi yang cukup bagi siswa untuk berlatih menulis.
Faktor menirukan juga merupakan salah satu penentu keberhasilan pembelajaran menulis. Dalam hal ini, siswa diharapkan dapat mengadaptasi-kan model tulisan, pola-pola kalimat, kata-kata, dan sebagainya yang diguna-kan oleh guru atau contoh-contoh yang ditunjukkan guru.
Faktor terakhir yang juga penting adalah penguatan. Guru harus dapat memberikan penguatan positif terhadap berbagai hasil tulisan siswa. Apa pun hasil tulisan siswa, guru harus memberikan penguatan positif agar siswa da-pat semakin baik kualitas tulisannya. Tidak ada tempat lagi “mencaci” atau “menjelakkan” hasil karya siswa.
3.2.2 Teori Mentalistik
Teori mentalistik berpandangan bahwa setiap manusia yang normal yang lahir di dunia memiliki suatu alat yang disebut language acquisition de-vice (LAD) untuk memperoleh bahasa. LAD mempunyai kemampuan untuk mengklasifikasikan data atau memproses data (masukan) sedemikian rupa sehingga data tersebut bisa dikelompok-kelompokkan secara teliti dan sekali-gus membuat aturan-aturan gramatika (Baradja, 1990:33). Dengan menggu-nakan LAD-nya, seorang anak mampu membuat hipotesis tentang struktur bahasa secara umum dan struktur bahasa yang dipelajarinya. Anak selalu membuat hipotesis-hipotesis dan menguji hipotesisnya menggunakan ucapan-nya atau pemahamannya. Sedikit demi sedikit anak terus berkembang. Hipo-tesisnya selalu direvisi dan disesuaikan dengan kenyataan yang dialaminya saat berkomunikasi dengan orang dewasa di sekelilingnya.
Dalam pembelajaran menulis, kata-kata kunci seperti LAD, gramatika, dan hipotesis juga amat menentukan. Siswa diakui memiliki kemampuan berbahasa—termasuk di dalamnya kemampuan menulis—sejak lahir. Dengan kemampuannya itu siswa dapat mengklasifikasikan data atau memproses da-ta masukan sedemikian rupa sehingga data-data itu bisa dikelompok-kelom-pokkan secara teliti dan sekaligus membuat aturan gramatika. Kemampuan siswa akan selalu dilengkapi dengan masukan yang berupa sistem ejaan, kaidah kebahasaan, atau kewacanaan melalui interaksi dengan lingkungan-nya. Dengan sistem dan kaidah itu memungkinkan siswa memiliki kemampu-an atau keterampilan menulis.
3.2.3 Teori Bialystok
Teori Bialystok ingin menjawab (1) mengapa orang-orang tertentu ber-hasil belajar bahasa kedua dan orang lain gagal, dan (2) mengapa ada orang yang kuat dalam aspek tertentu dari bahasa kedua, sedangkan orang yang lain kuat dalam aspek yang lain (Baradja, 1990:22). Menurut teori ini, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam belajar bahasa kedua, yakni (1) masukan (input), (2) pengetahuan (knowledge), dan (3) keluaran (output).
Yang dimaksudkan “masukan” adalah pajanan bahasa (language expo-sure). Terdapat tiga pajanan, yakni (1) pajanan kebahasaan secara informal yang akan mengisi sel “pengetahuan linguistik implisit”, (2) pajanan kebaha-saan secara formal yang akan mengisi sel “pengetahuan linguistik eksplisit”, dan (3) pajanan nonkebahasaan dari ilmu lain yang akan mengisi sel “pe-ngetahuan lain”. Yang dimaksudkan “pengetahuan” adalah segala macam informasi dan pengalaman yang diperoleh pembelajar. Setelah semua sel pada tahap “pengetahuan” terisi, sampailah pada tahapan “keluaran” yang berupa respon sebagai wujud pemahaman atau pengutaraan isi hati. Ada dua macam respon, yakni (1) respon tipe I yang mengacu pada respon spontan (misalnya dalam berbicara), dan (2) respon tipe II yang mengacu pada respon tidak spontan (misalnya dalam menulis).
Dalam konteks pembelajaran menulis, guru harus memperhatikan va-riabel “masukan” sebagai pengalaman belajar siswa. Guru harus memper-hatikan ketiga sel dalam variabel “pengetahuan”, yakni (1) pengetahuan lingu-istik implisit, (2) pengetahuan linguistik eksplisit, dan (3) pengetahuan lain. Ketiga sel itu masing-masing harus ada isinya. Tentu saja, isi dari tiap-tiap sel harus sesuai dengan kebutuhan. Menurut Baradja (1990), apabila ketiga sel itu ada isinya maka siswa antara lain dapat mengutarakan isi hatinya (lisan/ tertulis) dengan baik. Dalam teori Bialystok, peran guru begitu strategis untuk kesuksesan pembelajaran bahasa. Guru yang baik akan banyak memberikan “masukan” yang bermanfaat kepada siswa.
3.3 Prinsip Pembelajaran Keterampilan Menulis
Dari paparan tiga teori belajar bahasa di atas kita dapat merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran keterampilan menulis dengan memanfaatkan pandangan yang ada pada teori behavioristik, mentalistik, dan Bialystok. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.
• Guru harus memperhatikan faktor-faktor eksternal dari siswa yang da-pat membantu memperlancar pelaksanaan pembelajaran menulis. Faktor-faktor eksternal yang penting adalah frekuensi, peniruan, dan penguatan harus mendapat fokus perhatian guru dalam proses pembelajaran me-nulis.
• Guru harus memiliki kepercayaan pada siswa bahwa mereka itu adalah makhluk Tuhan yang memiliki “piranti bawaan” yang dapat mereka guna-kan untuk mengembangkan keterampilannya masing-masing. Setiap siswa hakikatnya adalah makhluk yang punya potensi. Tugas guru adalah meng-gali potensi itu.
• Dalam pembelajaran menulis guru harus memperhatikan variabel “input atau masukan” sebagai pengalaman belajar siswa. Oleh karena itu, guru yang tepat untuk pembelajaran keterampilan menulis adalah guru yang dapat menyediakan atau memberikan masukan kepada siswa. Guru yang memiliki kelebihan dalam menulis amat diharapkan dalam pembelajaran menulis.
3.4 Penataan Lingkungan “Kelas” Menulis
Menurut Routman (1994) iklim kelas, baik emosional maupun fisik, ha-ruslah memberikan kontribusi ke arah “kemauan” (willingness) dan “hasrat” atau “keinginan” (aegerness) ke arah menulis. Kelas seperti ini memungkinkan siswa dapat mengartikulasikan “kepercayaan” yang mereka miliki tentang me-nulis. Ada baiknya kita memperhatikan rambu-rambu dari Routman berikut ini.
• PENULIS MEMERLUKAN POTONGAN WAKTU YANG TERATUR.
• PENULIS MEMERLUKAN TOPIK-TOPIK YANG SEHARUSNYA MEREKA MILIKI.
• PENULIS MEMERLUKAN RESPON.
• PENULIS MEMPELAJARI MEKANIK DALAM KONTEKS.
• ANAK-ANAK PERLU MENGETAHUI ORANG DEWASA MENULIS.
• PENULIS MEMERLUKAN MEMBACA.
• GURU MENULIS HARUS BERTANGGUNG JAWAB AKAN PENGETAHUAN DAN PENGAJARANNYA.
• PENULIS PERLU MERASA AMAN DALAM MENGAMBIL RISIKO.
• PENULIS MEMBUTUHKAN TUJUAN YANG BENAR SUNGGUH-SUNGGUH UNTUK MENULIS.

• KELAS BUKAN TEMPAT BELAJAR, KELAS ITU “SUMBER BELAJAR”.
• KELAS BUKAN TEMPAT MENULIS, KELAS ITU “SUMBER MENULIS”.

3.5 Berbagai Strategi Pembelajaran Menulis
3.5.1 Pembelajaran Menulis Terpadu sebagai Strategi Pembelajaran
Karakteristik Pembelajaran Menulis Terpadu
Pembelajaran keterampilan menulis terpadu dilandasi oleh prinsip-prinsip beri-kut ini.
• Siswa adalah pembelajar yang aktif dan konstruktif. Siswa adalah orang yang aktif membuat makna dan terus-menerus berpikir tentang dunia mereka sebagai dasar pengetahuan tentang apa yang mereka pelajari dan mereka susun.
• Bahasa merupakan sistem makna yang dikomunikasikan dalam kehidupan sosial. Bahasa digunakan untuk berbagai macam tujuan. Bahasa tidak dapat dipahami, ditafsirkan, dan dievaluasi apabila tidak dikatkan dengan konteks pemakaiannya.
• Siswa pada dasarnya sudah mempunyai pengetahuan. Tidak ada siswa yang “kosong” pengetahuan. Pengetahuan itu diorganisasikan dan disusun melalui interaksi sosial.
Mengapa “Terpadu”
• Semua keterampilan berusaha dilatihkan dalam pembelajaran ini. Semua aspek berpikir dan aspek pribadi dicoba dikembangkan dalam pembel-ajaran ini.
• Kegiatan memang difokuskan kepada keterampilan menulis, tetapi bukan berarti bahwa keterampilan yang lain diabaikan atau dipisahkan. Wujud pembelajarannya dapat diorganisasikan (1) membaca—menulis—memba-ca—berdiskusi, (2) menyimak—menulis—berdiskusi, (3) menyimak—ber-diskusi—menulis, (4) menulis—melaporkan—merencanakan—berdiskusi, dan (5) bercakap-cakap—menulis—membaca.
Model Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu
• Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Pertama
Langkah pertama, guru bertanya jawab dengan siswa mengenai tugas yang telah diberikan. Langkah kedua,
• Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Kedua

3.5.2 Pelatihan Menulis sebagai Strategi Pembelajaran
Karakteristik Pelatihan Menulis
• Pelatihan menulis secara komunikatif berkaitan dengan kemampuan pro-duktif, yakni menyampaikan informasi.
• Pembelajar membutuhkan pertolongan untuk menghubungkan latihan me-nulis yang diterimanya dengan situasi yang nyata yang telah dikenal pem-belajar dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan topik.
• Guru bukan semata-mata sebagai pemimpin, tetapi lebih banyak bertindak sebagai pemandu, bahkan sebagai teman belajar bagi siswa.
• Pembelajaran menulis lebih banyak dilihat sebagai proses daripada hasil. Pelatihan menulis harus dilihat sebagai cara untuk menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi daripada hanya sebagai cara untuk mengetes keterampilan menulis.
Model Pembelajaran dengan Pelatihan Menulis
• Model pertama, dapat ditempuh dengan beberapa langkah. Pertama, guru memberikan suatu topik yang sekiranya dikenal siswa (siswa dan guru me-nyepakati topik tertentu. Kedua, guru menyuruh siswa untuk membica-rakan topik yang sudah disepakati itu dengan ide-ide dan organisasi cerita yang jelas dan memberikan komentar lisan yang dibutuhkan untuk meng-gambarkan topik itu. Ketiga, siswa selanjutnya menulis topik itu secara singkat.
• Model kedua, dapat ditempuh sebagai berikut. Pertama, guru menyiapkan suatu topik yang sudah dikenal siswa. Kedua, guru membentuk kelompok-kelompok (misalnya kelas dibagi menjadi empat kelompok). Ketiga, setiap kelompok merencanakan dan menghasilkan tulisan. Keempat, tiap-tiap anggota kelompok menghasilkan satu tulisan. Dengan berada dalam kelompoknya itu diharapkan anggota kelompok dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik dibandingkan jika dikerjakan sendiri.
• Model ketiga, dapat ditempuh sebagai berikut. Pertama, guru menyiapkan sebuah topik yang sudah dikenal siswa. Kedua, guru membuat suatu pan-duan pelatihan menulis (misalnya gambar berseri yang disertai dengan pernyataan-pernyataan dan butir-butir bahasa). Ketiga, siswa secara individu menghasilkan tulisan.
• Model keempat, dapat ditempuh sebagai berikut. Pertama, guru menyiap-kan sebuah topik yang dikenal siswa. Kedua, siswa merencanakan dan mengembangkan tulisannya. Selama proses menulis, siswa dapat berta-nya kepada guru bahasa untuk menolong mengembangkan tulisannya. Siswa diberi kebebasan bekerja.
Bentuk-Bentuk Panduan Latihan Menulis
• Potongan kalimat
• Kalimat telegrafis
• Penggabungan kalimat
• Melengkapi paragraf
• Perluasan
• Membuat daftar
• Komposisi berbasis wawancara lisan
• Komposisi terbimbing dan bebas
2.5.3 Pendekatan Proses Menulis sebagai Strategi Pembelajaran
4. Pembelajaran Menulis dalam KBK SLTP: Beberapa Pilihan
4.1 Menulis Paragraf Deskripsi
Menurut Jolly (1984) terdapat tujuh macam deskripsi, yakni (1) deskrip-si orang (wajah & tubuh, pakaian, karakter & kebiasaan), (2) deskripsi tempat, (3) deskripsi benda-benda, (4) deskripsi adegan manusia, (5) deskripsi pe-mandangan alam, (6) deskripsi kebiasaan (habits) dan keadaan (conditions), dan (7) deskripsi proses. Jika menulis deskripsi dalam KBK diacukan kepada pandangan Jolly tersebut, yang dimaksud adalah paragraf proses(?).
Deskripsi adalah penggambaran dengan kata-kata terhadap suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan (Marahimin, 2001:45). Melalui tu-lisannya, seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya dapat “me-lihat” apa yang dilihatnya, dapat “mendengar” apa yang didengarnya, “menci-um bau” yang diciumnya, “”mencicipi” apa yang dimakannya, “merasakan” apa yang dirasakannya, serta sampai kepada “kesimpulan” yang sama dengan-nya. Marahimin menegaskan bahwa deskripsi merupakan hasil observasi melalui pancaindera yang disampaikan dengan kata-kata.
Ada dua macam deskripsi, yakni deskripsi ekspositori dan deskripsi im-presionistis. Menurut Marahimin, pembedaan itu tidak terlalu penting dengan alasan-alasan yang akan kita lihat sendiri nanti pada latihan-latihan kita. Des-kripsi ekspositori adalah deskripsi yang amat logis yang isinya biasanya meru-pakan daftar rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal-hal yang penting saja, yang disusun menurut sistem dan urut-urutan logis objek yang diamati itu. Deskripsi impresionistis atau deskripsi stumulatif adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulasi pembacanya. Deskripsi ini lebih menekankan pada impresi.

DESKRIPSI ITU FAKTA, BUKAN REALITA, BUKAN ANEH TAPI NYATA

Contoh realita:
Bis kota di Jakarta banyak yang sudah reyot, kebersihannya pun tidak terpelihara. Di lantai bis banyak berserakan segala macam sampah dan debu. Para penumpang selalu berjubel, dan mereka biasanya meludah seenaknya di lantai bis. Ada pula banyak tukang copet di dalam bis, dan mereka tidak pilih bulu. Lelaki, wanita, tua, muda semua yang lengah pasti dicopet. Biasanya ada pula penjaga majalah, yang menawarkan majalah aneka warna, dengan harga murah, tetapi ternyata majalah yang mereka jual adalah terbitan tiga tahun yang lalu. (Marahimin, 2001:47) Pada umumnya

Contoh fakta:
Ketika saya sedang menaiki bis kota kemarin, di pintu saya di-hadang dua orang tukang copet. Mereka berpakaian parlente, sa-lah-salah lihat seperti mahasiswa, karena membawa buku dan map-map. Ketika saya melewati mereka, mereka mencoba meraba saku saya, tapi saya cukup waspada. Seorang wanita yang naik di bela-kang saya tiba-tiba menjerit kehilangan dompet. Kedua “mahasis-wa” itu segera turun dan menghilang di antara kerumunan orang-orang di terminal.
Di lantai bis banyak berserakan sampah. Udara di dalam bis sa-ngat panas karena penumpangnya penuh sesak. Untung saya men-dapat tempat duduk di dekat jendela, tapi orang tua yang duduk di samping saya batuk-batuk, dan meludahkan dahak sesenaknya ke lantai bis. (Marahimin, 2001:48) Pada suatu tempat dan waktu tertentu

Dalam KBK SLTP, kompetensi dasar, hasil belajar, indikator pencapai-an hasil belajar, serta alokasi waktu penyampaian “menulis paragraf deskripsi” dapat diperhatikan pada bagan berikut.

KOMPETENSI DASAR HASIL BELAJAR INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR KELAS/
SMT
Menulis paragraf deskripsi Mampu menulis rencana kegiatan • Dapat menulis hal-hal yang terdapat di dalam rencana kegiatan (nama dan tujuan kegiatan, jadwal, dan susunan panitia) dengan sistematika dan bahasa yang tepat. I/1

4.2 Pembelajaran Menyunting
Dalam KBK Bahasa Indonesia SLTP, kompetensi dasar menyunting memperoleh porsi yang cukup banyak, yakni pada semester 1 dan 2 (kelas I), semester 1 (kelas II), dan semester 1 dan 2 (kelas III). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa perancang kurikulum memandang keterampilan menyuting sebagai sesuatu yang penting. Keterampilan ini amat perlu dikembangkan karena memang amat akrab dengan kehidupan siswa atau peserta didik selanjutnya. Rumusan kompetensi dasar, hasil belajar, indikator hasil belajar, serta waktu penyampaiannya dapat diperhatikan pada paparan berikut.

KOMPETENSI DASAR HASIL BELAJAR INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR KELAS/ SMT
Menyunting Mampu menyunting tulisan sendiri dan tulisan orang lain • Dapat menyunting tulisan sendiri/orang lain mencakupi ketepatan ejaan, tanda baca, pilihan kata, keefektifan kalimat, dan keterpaduan paragraf I/1, 2
II/1
III/1, 2

4.3 Pembelajaran Menulis Laporan
Dalam KBK, kompetensi dasar, hasil belajar, indikator pencapaian hasil belajar, dan alokas waktu penyampaian “menulis laporan” dapat diperhatikan pada bagan berikut.

KOMPETENSI DASAR HASIL BELAJAR INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR KELAS/ SMT
Menulis laporan Mampu menulis laporan/reportase • Dapat menulis laporan secara sistematis dan menggunakan bahasa yang efektif serta menerapkan kaidah EYD. II/1

4.4 Pembelajaran Menulis Surat
Kompetensi menulis surat memperoleh alokasi waktu yang cukup banyak dalam KBK. Kompetensi ini diberikan dalam lima semester. Ini juga menandakan bahwa pengembangan KBK menaruh perhatian yang begitu penting kepada kompetensi ini. Menulis surat merupakan salah satu keterampilan hidup yang harus dimiliki peserta didik. Kompetensi dasar, hasil belajar, indikator pencapaian hasil belajar, dan alokasi waktu penyampaian “menulis surat” dapat diperhatikan pada bagan berikut.

KOMPETENSI DASAR HASIL BELAJAR INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR KELAS/ SMT
Menulis surat Mampu menulis surat pribadi • Dapat menulis surat pribadi dengan memperhatikan siste-matika surat dan struktur kali-mat yang komunikatif.
• Dapat menyunting karangan sendiri atau orang lain de-ngan memperhatikan ketepat-an ejaan, tanda baca, pilihan kata, keefektifan kalimat dan keterpaduan paragraf. I/1
Menulis surat Mampu menulis surat permohonan • Dapat menulis surat permo-honan dengan sistematika yang tepat dan bahasa yang efektif. I/2
Menulis surat Mampu menulis surat permohonan maaf, permohonan izin, dan ucapan terima kasih • Dapat menulis surat dengan sistematika dan bahasa yang tepat sesuai dengan status penerima surat dan tujuan penulisan surat. II/1
Menulis surat Mampu menulis surat undangan/penawaran/permintaan • Dapat menulis surat dengan sistematika yang tepat dan bahasa yang efektif sesuai dengan konteks (status penerima surat dan tujuan penulisan surat) II/2
Menulis surat Mampu membuat surat resmi • Dapat membuat surat resmi sesuai dengan kaidah yang berlaku (sistematika penulis-an dan bahasa yang efektif) III/1

4.5 Pembelajaran Menulis Iklan
Kompetensi dasar, hasil belajar, indikator pencapaian hasil belajar, dan alokasi waktu penyampaian “menulis iklan” dapat diperhatikan pada bagan berikut.

KOMPETENSI DASAR HASIL BELAJAR INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR KELAS/ SMT
Menulis iklan Mampu menulis berbagai jenis iklan • Dapat menulis berbagai iklan secara kreatif dengan meng-gunakan pilihan kata dan kali-mat yang menarik dan persu-asif sehingga dapat meyakin-kan orang lain/konsumen. III/1

DAFTAR RUJUKAN

Akhadiah, S., Arsjad, M.G., & Ridwan, S.H. 1994. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: Penerbit IKIP MALANG.
Budiyono, H. 2001. Pengajaran Menulis di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama: Kajian di SLTP Nusa dan SLTP Bangsa. Disertasi tidak dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.
Huda, N. 1999. Menuju Pengajaran Bahasa Berbasis Strategi Belajar: Impli-kasi Kajian Strategi Belajar Bahasa Kedua. Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Bidang Ilmu Pemerolehan Bahasa Kedua pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Jolly, D. 1984. Writing Tasks: An Authentic-Task Approach to Individual Writing Needs. Cambridge: Cambridge University Press.
Keraf, G. 1982. Eksposisi dan Narasi: Komposisi Lanjutan II. Ende-Flores: Nusa Indah.
Marahimin, I. 2001. Menulis secara Populer. Cetakan ketiga. Jakarta: Pustaka Jaya.
Omagio, A.C. 1986. Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Heinle Publishers, Inc.i
Pappas, C.C. et al. 1990. An Integrated Language Perspective in the Elementary School. London: Longman.
Pusat Kurikulum, Balitbang. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kompe-tensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP dan MTs (Draft edisi Agustus 2002). Jakarta: Depdiknas.
Routman, R. 1994. Invitations: Changing as Teachers and Learners K-12. Portsmouth, NH: Heinemann.
Skinner, B.F. 1957. Verbal Behavior. New York: Appleton-Century-Crofts.
Sorensen, S. 2000. Webster’s New World Student Writing Handbook. Edisi keempat. Foster Cyty, CA: IDG Books Worldwide, Inc.
Syafi’ie, I. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Tompkins, G.E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: MacMillan College Publishing Company.
Zemelman, S. & Daniels, H. 1993. Defining the Proces Paradigm. Dalam Clear, L.M. & Linn, M.D. (Eds.), Linguistics for Teaching (halaman 339—356). New York: McGraw-Hill, Inc.

Selasa, 11 Mei 2010

CTL: APA DAN BAGAIMANA APLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

Anang Santoso
Fakultas Sastra UM
[1]
Pada tiga atau empat tahun terakhir, kita para pelaksana pendidik-an—khususnya pada tingkatan sekolah menengah umum ke bawah—mendapat begitu banyak exposure dalam pelaksanaan pendi-dikan dan pengajarannya. Baru saja kita semua menerapkan secara lebih tepat pendekatan kebermaknaan dalam kurikulum 1994 dan suplemen 1997(?), kita kemudian dicecar dengan berbagai “inovasi” dalam pendidikan, seperti manajemen berbasis sekolah, penelitian tindakan kelas, pembelajaran gotong-royong, pembelajaran kuantum, CTL, dan sebagainya termasuk di dalamnya adalah kurikulum berbasis kompetensi.
Kedatangan mereka itu kita sambut dengan berbagai ragam sikap. Ada yang menyambutnya dengan adem-ayem. Kelompok ini menyikapinya dengan pikiran dan perilaku yang apatis. Mereka akan bertanya “pembaharuan apa lagi ini, bosan ah”. Ada juga yang menyambutnya dengan “tergopoh-gopoh”. Kelompok ini me-nyikapinya dengan berbagai pikiran dan perilaku “latah” dan berbagai bentuk keterpukauan terhadap berbagai hal yang “baru” atau “dianggap baru”. Mereka akan menyambutnya dengan ungkapan “wow keren”. Ada yang menyambutnya dengan normal-normal saja. Kelompok ini menyikapinya dengan pikiran dan perilaku yang tepat guna dan tidak berlebihan sesuai dengan medan pendidikan yang dikelolanya. Mereka akan menyambutnya berdasar pada sebuah keniscayaan akan pembaharuan di satu sisi dan pandangan bahwa “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” pada sisi yang lain.
[2]
Dalam pembaharuan pendidikan itu beberapa konsep kunci dielaborasi (kembali). Beberapa konsep kunci itu antara lain sebagai berikut. Pendidikan haruslah memiliki link and match. Pendidikan harus mengembangkan prinsip relevansi. Pendidikan haruslah menyenangkan, tidak membosankan. Pendidikan haruslah mengem-bangkan sisi kepribadian anak didik secara komprehensif. Pendi-dikan haruslah mengembangkan sikap bekerja sama. Pembelajaran haruslah bermakna. Jangan mengajarkan sesuatu yang tidak ada di sekitar anak. Pendidikan haruslah relevan dengan dunia nyata. Masukan yang diberikan kepada anak didik haruslah “i+1”, jangan “i+2”, “i+3”, dan seterusnya, atau sebaliknya “i-1”, “i-2”, dan se-terusnya. Dalam pendidikan siswa haruslah aktif, guru hanya se-bagai fasilitator. Dalam pendidikan, sekolah haruslah mengem-bangkan semua potensi yang ada di sekolah itu. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat.
Semua itu dilakukan semata-mata agar hasil belajar siswa menjadi lebih baik, lebih bermakna, lebih tahan lama, lebih sesuai dengan lingkungannya, dan lebih-lebih lainnya. Apakah konsep kunci yang dielaborasi itu “binatang baru”? Tentu saja bukan.
[3]
CTL, “binatang” apakah itu? Konsep barukah itu? Atau, konsep lama yang diberi baju baru? Sudahkah saya ber-CTL sewaktu mengajar selama ini? Begitu kunokah saya jika tidak mengetahui konsep CTL? Rahwanakah dia itu? Atau sebaliknya, Dewi Sintakah dia?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan selalu bergelayut pada diri kita masing-masing saat banyak kolega membincangkan tentang pendekatan terbaru dalam pembelajaran yang diberi label “pembelajaran kontekstual” sebagai terjemahan dari contextual teaching and learning (CTL). Kita sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran pada tingkat sekolah menengah umum ke bawah mungkin saja disibukkan untuk mencari jawabannya. Itu wajar. Mengapa? Dalam kurikulum 2004 istilah kontekstual disebut-sebut. Dalam aplikasinya, guru haruslah membelajarkan siswa-siswanya dengan berlandaskan konteks. Selain itu, CTL yang diadaptasi—atau bahkan diadopsi—dari negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, amatlah menggoda penyelenggara pendidikan di Indonesia. Sampai-sampai ada studi pascasarjana yang memfokuskan kajiannya pada CTL.
Pada paparan berikut disajikan “apa” dan “bagaimana” CTL. Paparan “apa” menjawab berbagai pertanyaan berbagai konsep tentang CTL. Paparan “bagaimana” menjawab pertanyaan tentang aplikasi CTL dalam pendidikan.
[3]
Apakah pembelajaran kontekstual itu? Cukup banyak definisi pem-belajaran kontekstual. Hal ini dapat diperhatikan pada Johnson (2002), The Washington State Consortium for CTL (2001), NWREL (2002), TEACHNET (2002), seperti dapat ditemukan dalam Nurhadi (2003). Berbagai definisi itu mengemukakan kata-kata kunci sebagai berikut.
• kebermaknaan
• penerapan ilmu
• berpikir tingkat tinggi
• kurikulum terstandar
• berfokus pada budaya
• keterlibatan siswa secara aktif
• asesmen autentik
• bekerja sama,
• mengerjakan pekerjaan yang berarti
• persoalan dunia nyata
• berpikir kritis dan kreatif
• mengumpulkan, menganalisis, dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang
• berbasis masalah
• berbagai macam konteks

Inti dari paparan mereka itu adalah bahwa CTL adalah proses belajar mengajar yang erat kaitannya dengan pengalaman nyata. Dari berbagai definisi yang ada, Nurhadi (2003:13) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupa mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Berbagai definisi memberikan pemahaman kepada kita bahwa proses pembelajaran tidaklah boleh “vakum” secara sosial, siswa adalah individu yang berkemampuan dan sekaligus memerlukan “orang lain”, guru adalah individu yang terampil merancang pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai konteks.
[4]
Terdapat tujuh komponen utama dalam pendekatan CTL, yakni (1) konstruktivisme, (2) bertanya, (3) inkuiri, (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) asesmen autentik.
Konstruktivisme (constructivism). Pengetahuan haruslah dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Suyanto, 2002:5). Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”, bukan “menerima” pengetahuan.
Bertanya (questioning). Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri—yakni (1) menggali informasi, (2) mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan (3) mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Inkuiri (inquiry). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui langkah-langkah tertentu. Guru harus merancang skenario kegiatan yang selalu merujuk pada kegiatan menemukan apa pun materi yang diajarkannya. Pengetahuan yang diperoleh sendiri oleh siswa akan bersifat tahan lama dan kemudian menjadi bagian dari kehidupannya.
Masyarakat belajar (learning community). Belajar pada hakikatnya adalah kerja gotong royong. Hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, antara yang di dalam kelas dengan yang di luar kelas, antara yang tahu dan yang belum tahu. Kegiatan saling belajar ini dapat terjadi apabila tidak ada yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap komponen harus berasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman yang berbeda yang perlu dipelajari oleh orang lain. Orang lain adalah “sumber belajar”.
Pemodelan (modelling). Sebuah pembelajaran haruslah me-nyediakan “apa yang dapat ditiru”, ada model yang dapat ditiru. Model dapat berasal dari siswa yang sudah tahu, guru, atau dari orang-orang di luar sekolah. Guru bahasa dapat memberi contoh melafalkan bunyi tertentu. Guru OR memberi contoh cara melem-par bola. Siswa yang pernah juara lomba puisi dapat memberi con-toh cara membacakan puisi. Guru agama dapat memberi contoh cara cara bersujud atau duduk di antara dua sujud. Guru kimia memberi contoh cara mencampur bahan kimia di laboratorium. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Refleksi (reflection). Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru saja dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan pada masa sebelumnya. Menurut Suyanto (2002:11) melalui refleksi siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Ungkapan seperti “Kalau begitu, cara saya membaca kamus selama ini salah, ya. Mestinya, dengan cara yang baru saya pelajari ini, saya akan menemukan kata secara lebih cepat dan akurat!”
Asesmen autentik (authentic assesment). Asesmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses belajar dengan benar. Asesmen dilakukan terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran. Data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, tidak melulu pada hasil. Menurut Suyanto (2002:13) hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar asesmen autentik meliputi (1) proyek/ kegiatan, (2) pekerjaan rumah, (3) kuis, (4) karya siswa, (5) presentasi atau penampilan siswa, (6) demonstrasi, (7) laporan, (8) jurnal, (9) hasil tes, dan (10) karya tulis.
[5]
Menurut Suyanto (2002:14) terdapat sebelas kata kunci dalam pembelajaran berbasis CTL sebagai berikut.
• kerjasama
• saling menunjang
• gembira
• belajar dengan bergairah
• pembelajaran terintegrasi
• menggunakan berbagai sumber
• siswa aktif
• menyenangkan, tidak membosankan
• sharing dengan teman
• siswa kritis
• guru kreatif

Dari kata kunci di atas, pembelajaran kontekstual akan bersing-gungan dengan konsep-konsep dalam pembelajaran kuantum, pembelajaran gotong royong, pembelajaran komunikatif, CBSA, manajemen berbasis sekolah, pembelajaran berbasis proses, pendidikan diperluas, pengajaran berbasis masalah, pengajaran berbasis inkuiri, pengajaran autentik, pengajaran berbasis proyek, pengajaran berbasis kerja, pengajaran berbasis jasa layanan, dan sebagainya.
[6]
Apa yang harus kita lakukan? Jika selama ini sebagai guru kita sudah membelajarkan anak dengan prinsip-prinsip kontekstual, kita tinggal meningkatkan pelayanan kita pada anak didik. Kita tinggal menyempurnakan apa yang sudah kita lakukan selama ini. Jika belum, kita dapat mengaplikasikan konsep-konsep baru di dalam pembelajaran kita. Yang jelas kita tidak boleh terlalu latah, gumunan, dan kagetan dengan sesuatu yang dianggap baru itu. Dalam berbagai kesempatan saya (Santoso, 2003a; 2003b) mene-gaskan bahwa apa pun bentuk pembaharuan pendidikan peran guru tetaplah sentral. Jika disuruh memilih antara “pendekatan/ metode yang baik” dan “guru yang baik”, saya memilih yang ter-akhir. Selamat berkontekstual!

DAFTAR RUJUKAN

Degeng, Nyoman S. 2001. Belajar-Mengajar Quantum. Makalah seminar. Malang: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran, Universitas Negeri Malang.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta:Grasindo.
Nurhadi, Yasin, Burhanuddin, & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pem-belajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Ma-lang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Santoso, Anang. 2003a. Beberapa Catatan tentang Model-Model Pembelajaran PPKn Terpadu untuk SD: Studi Kasus di Kalsel. Makalah Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Model-Mo-del Pembelajaran PPKn Terpadu untuk Wilayah Provinsi Kal-sel Kerjasama Direktorat Pendidikan Dasar dan Universitas Negeri Malang, di Banjarmasin 3 Agustus.
Santoso, Anang. 2003b. Pembelajaran Keterampilan Menulis: Yang Terpenting adalah Guru. Makalah Seminar dan Pelatihan Baca-Tulis untuk Guru-Guru SLTP se-Indonesia, di Universitas Negeri Semarang, Juni 2003.
Suparno. 2001. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekat-an Kontekstual. Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Menyongsong Pemberlakuan Kurikulum Baru Bidang Studi Bahasa Indonesia, 22 Oktober, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Suyanto, Kasihani K.E., Latief, Adnan, & Nurhadi. 2002. Pembel-ajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning). Makalah disajikan dalam Kegiatan Sosialisasi CTL bagi dosen UM, 15 Februari, di Fakultas Sastra UM.

KBK: APA DAN BAGAIMANA APLIKASINYA DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Anang Santoso
Universitas Negeri Malang
1. Pengantar
Istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) bukan istilah baru. Istilah itu sudah muncul dalam pelbagai buku-buku kurikulum dan silabus sebelum istilah itu ramai di lapangan pendidikan. Akan tetapi, istilah KBK menjadi hiruk pikuk sejak kurikulum yang identik dengan kurikulum sekolah dasar dan menengah itu diluncurkan pada 2004, yang menggantikan kurikulum 1994.
Di lingkungan perguruan tinggi, istilah KBK tidak seheboh di tingkat sekolah dasar dan menengah. Ada sejumlah penyebab. Salah satunya adalah karena KBK sudah diterapkan dalam jangka waktu yang lama di sejumlah perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang lulusannya diharapkan memiliki keterampilan (skill) atau kompetensi tertentu. Di lembaga pendidikan tinggi yang menghasilkan guru, dokter, dan perawat, misalnya, istilah kompetensi bukanlah sesuatu yang baru dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan kurikulum.
2. Pengertian Kurikulum
Beberapa pengertian dan pandangan tentang keberadaan kurikulum ditampilkan pada bagian ini. Pertama, kurikulum sebagai suatu program kegiatan yang terencana. Kurikulum berupaya menggabungkan ruang lingkup, rangkaian, interpretasi, keseimbangan subject matter, teknik mengajar, dan hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya. Di satu pihak, kurikulum dipandang sebagai suatu dokumen tertulis, di lain pihak kurikulum dipandang sebagai rencana tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pendidik.
Kedua, kurikulum sebagai hasil belajar yang diharapkan. Pengertian ini menekankan perubahan cara pandang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat (means) menjadi kurikulum sebagai tujuan (ends). Salah satu alasan utama adalah karena hasil belajar yang diharapkan merupakan dasar bagi perencanaan dan perumusan berbagai tujuan kegiatan pembelajaran.
Ketiga, kurikulum sebagai reproduksi kultural. Kurikulum dalam setiap masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi dari budaya masyarakat itu sendiri. Lembaga pendidikan bertugas memproduksi pengetahuan dan nilai-nilai yang penting bagi generasi penerus.
Keempat, kurikulum sebagai kumpulan tugas dan konsep diskrit (berdiri sendiri/terpisah). Kurikulum seperti ini umumnya dikembangkan dalam program-program pelatihan dalam bisnis, industri, dan kemiliteran. Pengembangan kurikulum seperti ini berangkat dari asumsi bahwa tugas-tugas yang bersifat diskrit adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kelima, kurikulum sebagai agenda rekonstruksi sosial. Pandangan ini berpendapat bahwa sekolah atau lembaga pendidikan harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan nilai-nilai yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki masyarakat dan institusi kebudayaan, serta berbagai keyakinan dan kegiatan praktik yang mendukungnya.
3. Pengertian Kompetensi
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam pelbagai konteks.
2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilakui peserta didik untuk menjadi kompeten.
3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran.
4) Keandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
4. Pengertian KBK
KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar, serta pemberdayaan sumberdaya pendidikan (Puskur, 2002). A competence-based curriculum starts with identification of the competencies each learner is expected to master, states clearly the criteria and conditions by which performance will be assested, and defines the learning activities that will lead to the learner to mastery of the targeted competency (MATEC, 2001).
Batasan tersebut menyiratkan bahwa KBK dikembangkan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh kompetensi dan kecerdasan yang memadai dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Melalui penerapan KBK, tamatan diharapkan memiliki kompetensi atau kemampuan akademik yang baik, keterampilan untuk menunjang hidup yang memadai, pengembangan moral yang terpuji, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup yang sehat, semangat bekerja sama yang baik, dan apresiasi estetika yang tinggi terhadap dunia sekitar. Pelbagai kompetensi tersebut harus berkembang secara harmonis dan berimbang.
Rumusan kompetensi dalam KBK merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, dan dilakukan peserta didik dalam setiap jenjang pendidikan, dan sekaligus menggambarkan kemajuan peserta didik yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
KBK memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik, baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) sumber belajar bukan hanya guru/ dosen, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
5. Prinsip-prinsip KBK
Menyadari bahwa pengembangan kurikulum merupakan proses yang dinamis, penyusunan dan pelaksanaan KBK didasarkan pada sembilan prinsip berikut. Pertama, prinsip keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur. Keimanan, pembentukan nilai, dan budi pekerti luhur menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata kuliah dapat menunjang peningkatan iman dan budi pekerti luhur.
Kedua, prinsip penguatan integrasi nasional. Penguatan integrasi nasional dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang multikultur dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multibahasa. Pengembangan kurikulum juga harus dapat memperkuat integrasi nasional. Tidak boleh ada pembedaan pelayanan hanya karena perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Setiap matakuliah dirancang untuk memperkuat integrasi itu.
Ketiga, prinsip keseimbangan antara etika, logika, estetika, dan kinestika. Kurikulum tidak hanya mengembangan satu aspek saja. Politeknik, misalnya, tidak hanya mengembangkan aspek keterampilan saja, tetapi kurikulumnya harus mengembangkan segi etika, logika, estetika, dan kinestika secara seimbang.
Keempat, prinsip kesamaan memperoleh kesempatan. Penyediaan tempat yang memberdayakan semua siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan seluruh siswa dari berbagai kelompok, seperti kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial yang memerlukan bantuan khusus. Siswa berbakat dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya.
Kelima, prinsip akomodatif dengan abad pengetahuan dan teknologi informasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (informasi) adalah sebuah keniscayaan. Dunia perguruan tinggi tidak dapat menghindar darinya. Kemampuan berpikir dan belajar dengan mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Pengembangan kurikulum harus mengakomodasi dan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
Keenam, pengembangan kecakapan hidup (life-skill). Selama di lembaga pendidikan, kecakapan hidup yang meliputi kecakapan personal, akademik, sosial, dan vokasional yang akan dituntut dalam kehidupan nyata harus dikembangkan. Setiap matakuliah yang dikembangkan haruslah dapat mewadahi kecakapan-kecakapan hidup tersebut.
Ketujuh, prinsip belajar sepanjang hayat. Kurikulum harus dikembangkan dengan menganut prinsip belajar sepanjang hayat. Pendidikan harus dapat memberikan menanamkan kepada peserta didik bahwa belajar hakikatnya tidak terikat oleh termin waktu tertentu. Sebaliknya, orang belajar berlangsung sejak berada dalam kandungan sampai ia menghembuskan napas terakhir.
Kedelapan, prinsip berpusat pada subjek didik atau peserta didik dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif. (Maha)siswa adalah subjek didik, bukan objek didik. Sebagai subjek, kurikulum dikembangkan dengan lebih berorientasi pada mahasiswa. Keberhasilan subjek didik dalam melaksanakan kurikulum dinilai sepanjang waktu dan melibatkan banyak alat penilaian.
Kesembilan, prinsip pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Semua pengalaman belajar dirancang berkesinambungan mulai tingkat I sampai terakhir. Pendekatan yang digunakan dalam mengorganisasikan pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan siswa yang bervariasi. Keberhasilan pencapaian pengalaman belajar menuntut kemitraan dan tanggung jawab bersama dari peserta didik, pengajar, lembaga/institusi, orang tua, dunia usaha dan industri, dan masyarakat.
6. Aplikasi KBK di Lembaga Pendidikan Tinggi
Beberapa catatan terkait dengan aplikasi KBK di lembaga pendidikan tinggi. Pertama, KBK sangat aktab dengan pelbagai istilah, seperti: standar kompetensi, kompetensi, indikator hasil belajar, materi pokok, dan standar proses, dan uji kompetensi. Kurikulum, silabus atau Rencana Perkuliahan Semester (RPS), dan SAP yang dikembangkan sebaiknya mengakomodasi istilah-istilah itu.
Kedua, pelibatan dan integrasi kecakapan hidup (personal, berpikir rasional, sosial, akademik, vokasional). Pelbagai kecakapan hidup ini dikembangkan melalui pelbagai kegiatan di lembaga pendidikan, baik kegiatan kurikuler maupun ekstra-kurikuler.
Ketiga, pelaksanaan asesmen atau penilaian berbasis kelas (nontes dan tes). Penilaian berbasis kelas tidak terpisahkan dari kegiatan belajar mengajar, menggunakan acuan patokan, menggunakan pelbagai cara penilaian (tes dan nontes), mencerminkan kompetensi peserta didik secara komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka, berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Keempat, peserta didik menjadi “aktif-kreatif-menyenangkan”. Standar proses yang dikembangkan hendaknya menjadikan peserta didik dapat menjadi semakin aktif, memiliki daya cipta, serta selalu dapat menikmati dengan senang.
Kelima, pengembangan budaya belajar. Semua personil yang terlibat dalam sebuah institusi selalu terlibat dalam budaya belajar. Mulai dari personil yang paling bawah sampai pucuk pimpinan harus selalu belajar.
Keenam, manajemen kepemimpinan yang dikembangkan adalah budaya kerja. Budaya kerja adalah budaya pengabdian yang memiliki sejumlah karakteristik: mandiri, transparansi, kerjasama, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Ketujuh, hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat bersifat sinergis. Lembaga pendidikan harus pandai-pandai memanfaatkan sejumlah potensi yang ada di dalam masyarakat.
Kedelapan, perlunya kreativitas pengajar dalam menjalankan tugas pedagogiknya. Pengajar harus dapat memanfaatkan potensi dalam masyarakat. Pengajar menggunakan variasi metode/teknik mengajar, variasi alat evaluasi, dan variasi media pembelajaran.
Kesembilan, menciptakan lingkungan yang kondusif-akademik, baik secara fisik maupun nonfisik. Lingkungan yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga kampus, kesehatan kampus, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat kepada peserta didik merupakan iklim yang dapat membangkitkan gairah dan semangat belajar.
Kesepuluh, mengembangkan fasilitas dan sumber belajar agar kurikulum yang sudah dirancang dapat berjalan optimal. Fasilitas-fasilitas itu antara lain laboratorium, bengkel kerja, sanggar, perpustakaan, pusat sumber belajar, dan tenaga pengelola serta peningatan kemampuan pengelolaannya.
Kesebelas, mendisiplinkan peserta didik. Mendisiplinkan peserta didik bertujuan untuk membantu menemukan diri, mengatasi, dan mencegah timbulnya persoalan-persoalan disiplin, dan berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran sehingga mereka menaati segala peraturan yang ada.
Kedua belas, mengembangkan kemandirian pemimpin institusi. Para pemimpin institusi dalam pelbagai level harus memiliki kemandirian dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Dengan kemandirian itu, niat untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran lembaga melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap dapat terlaksana.
Ketiga belas, mengubah paradigma pendidik dan atau pengajar. Peran pengajar sebagai sutradara dan fasilitator pembelajaran amatlah penting dalam menentukan tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. KBK mengajak pengajar untuk menghargai peran standar proses dalam pelaksanaan pembelajaran, tidak semata-mata berorientasi pada hasil dan penguasaan materi pelajaran. Tugas pengajar tidak hanya “mentransfer pengetahuan”, lebih dari itu ia harus menjadi fasilitator yang memberikan pelbagai kemudahan agar peserta didik dapat belajar.
Keempat belas, memberdayakan tenaga kependidikan. Peran tenaga kependidikan dalam menunjang pelaksanaan pendidikan sangat penting. Tenaga kependidikan harus dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja. Pimpinan lembaga harus dapat memberdayakan tenaga kependidikan secara efektif dan efisien.

Daftar Rujukan

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang.
Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Krahnke, Karl. 1987. Approaches to Syllabus Design for Foreign Language Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Regents.
Mulyasa, E. 2006. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nurhadi, Yasin, B., & Senduk, A.G. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: PENERBIT UNIVERSITAS NEGERI MALANG.

Senin, 10 Mei 2010

MENGEMBANGKAN KARYA ILMIAH, KHUSUSNYA MAKALAH

1. Pengantar
Makalah ini secara singkat memaparkan berbagai kegiatan yang ditempuh untuk menulis dan mengembangkan sebuah karya ilmiah. Ada tiga yang dipaparkan. Pertama, bagaimana mengembangkan bagian pendahuluan. Ada tiga sub yang dipaparkan: (1) mengembangkan latar belakang, (2) merumuskan masalah, dan (3) merumuskan tujuan. Kedua, bagaimana mengembangkan bagian isi atau bahasan. Dalam bagian ini dipaparkan dua hal, yakni (1) mengembangkan sub-sub bagian, dan (2) berbagai teknik yang dapat dipilih untuk mengembangkan bagian isi. Ketiga, bagaimana mengembangkan bagian penutup. Ada dua yang dikembangkan: (1) merumuskan kesimpulan, dan (2) merumuskan saran-saran.
Makalah ini disusun salah satunya berangkat dari sebuah keprihatinan menyaksikan pelbagai karya ilmiah yang dibuat di lapangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun karya ilmiah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan akademik kita, namun masih banyak yang belum sepenuhnya menguasai, mulai dari format sampai penggunaan bahasa.
2. Menguraikan Bagian Pendahuluan
Sebuah karya ilmiah, misalnya, makalah paling tidak dibangun dari tiga unsur, yakni (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, dan (3) tujuan.
2.1 Menguraikan Latar Belakang
Dalam latar belakang paling tidak berisi: (1) paparan tentang penting dan manfaat judul, (2) gambaran umum yang akan dibahas, dan (3) penegasan kepada pembaca bahwa masalah yang diangkat itu penting dan perlu diketahui pembacanya. Untuk menguraikan latar belakang terdapat empat macam, yakni (1) telaah kasus negatif, (2) telaah kasus positif, (3) kutipan pakar, dan (4) informasi yang cukup dikenal dan akrab dengan pembaca.
Dalam teknik telaah kasus negatif, penulis menguraikan kelemahan, kekurangan, kegagalan, kejelekan, atau sejenisnya tentang kondisi yang selama ini terjadi terkait dengan hal yang dibahas. Kalau kita menulis tentang “bantuan operasional sekolah” atau BOS, misalnya, penulis dapat menampilkan keberhasilan program BOS. Misalnya: membantu siswa membeli buku dan membantu sekolah melaksanakan program-programnya.
Dalam teknik telaah kasus positif, penulis menguraikan keunggulan, kelebihan, keberhasilan, kebaikan, atau sejenisnya tentang kondisi yang selama ini terjadi terkait dengan hal yang dibahas. Kalau kita menulis tentang BOS, kita dapat mengemukakan kegagalan pelaksanaan program BOS. Misalnya, penyelewengan oleh orang yang berwenang, ketidaktepatan peruntukan dana BOS, dan sebagainya.
Dalam teknik kutipan pakar, penulis dapat memulai tulisannya dengan mengutip pandangan, pendapat, atau opini pakar terkait dengan bidang yang sedang dibahas. Tentu saja, pemilihan pakar haruslah sesuai dengan bidang yang sedang dikaji dengan memperhatikan prestasi dan integritas. Kalau menulis tentang BOS, penulis dapat mengemukakan pendapat pakar tentang peran bantuan pendidikan atau mengutip hasil penelitian terkait dengan BOS.
Dalam teknik pemberian informasi yang dikenal pembaca, penulis dapat menginformasikan kejadian-kejadian sehari yang dekat dengan pembaca tentang masalah yang sedang dibahas. Kalau menulis tentang BOS, penulis dapat mengemukakan pengalaman orang-orang tua di sekitar sekolah atau pengalaman guru dan kepala sekolah terkait dengan BOS.
2.2 Menguraikan Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah bagian dalam tulisan kita yang akan menjadi pokok atau sumber uraian karya ilmiah. Dengan demikian, rumusan masalah yang baik adalah rumusan yang “mudah”, “jelas”, dan “eksplisit” untuk dijabarkan ke dalam bagian-bagian selanjutnya. Rumusan masalah pada umumnya dirumuskan dalam kalimat tanya. Tentu saja, kalimat tanya yang dipilih adalah kalimat tanya yang jawabnya jelas dan perlu penjabaran. Rumusan masalah yang jawabnya “ya” atau “tidak” tidak tepat dimunculkan dalam karya ilmiah.
Rumusan masalah berbunyi “adakah nilai edukatif dalam novel Harimau-Harimau” bukanlah rumusan yang baik. Mengapa? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak memerlukan penjabaran. Apabila rumusan itu kita kemukakan dalam makalah kita, maka bagian isi atau bahasan dalam karya kita cukup diuraikan dengan menjawab “ada”. Rumusan itu dapat diperbaiki menjadi “nilai-nilai edukatif apa saja yang terdapat dalam novel Harimau-Harimau”.
Rumusan berbunyi “sejauh mana peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu” bukanlah rumusan masalah yang baik. Kata “sejauh mana” itu tidak jelas ukurannya sehingga akan sulit untuk dijabarkan. Sebaliknya, rumusan berbunyi “bagaimanakah peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu” atau “faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam kesuksesan program BOS di Kabupaten Belu” adalah rumusan yang relatif lebih baik.
2.3 Menguraikan Tujuan
Rumusan tujuan adalah jabaran atau rumusan lain dari rumusan masalah. Jika masalah dirumuskan dalam kalimat tanya, rumusan tujuan dikemukakan dalam kalimat berita. Rumusan tujuan haruslah linear dengan rumusan tujuan. Yang menjadi persoalan dalam menguraikan tujuan adalah memilih kata kerja yang mengawali rumusan kita. Kata-kata “mengetahui” yang sering kita jumpai untuk mengawali rumusan tujuan adalah kata yang kurang operasional. Dengan demikian kata tersebut tidak terlalu tepat dalam merumuskan masalah. Sebaliknya, kata-kata, sepert “menjelaskan”, “memaparkan”, “mendeskripsikan”, dan “menguraikan” adalah kata-kata operasional yang banyak dipilih penulis. Kata-kata tersebut cocok untuk merumuskan masalah dalam tulisan keilmuan kita.
Rumusan tujuan berbunyi “mengetahui peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu” bukanlah rumusan yang baik. Rumusan tersebut dapat direvisi menjadi “memaparkan peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu” adalah rumusan tujuan yang seharusnya kita pilih dalam tulisan kita.
3. Menguraikan Bagian Isi
Ada dua hal penting dalam menguraikan bagian isi ata bahasan, yakni (a) penjabaran masalah ke dalam sub-sub bahasan, dan (b) teknik-teknik menguraikan bagian bahasan.
3.1 Menjabarkan ke dalam Sub-sub Judul Bagian Isi
Menjabarkan sub-sub bagian dari rumusan masalah dan tujuan adalah kompetensi yang harus dimiliki seorang penulis. Jabaran yang berhasil akan memudahkan pembaca memahami karya ilmiah, demikian juga sebaliknya.
Tulisan yang baik akan jelas kelinearan antara rumusan masalah, tujuan, dan bahasan. Ketiga unsur berada dalam satu garis lurus. Perbedaan ketiga adalah pada rumusannya. Jika rumusan masalah berupa kalimat tanya, rumusan tujuan adalah kalimat berita, subjudul isi berupa frasa benda. Linearitas antara rumusan masalah, tujuan, dan isi atau bahasan dapat diperhatikan pada tampilan berikut.
Rumusan Masalah Tujuan Isi atau Bahasan
1. Bagaimanakah peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu? 1. Memaparkan peran sekolah dalam menyukseskan program BOS di Kabupaten Belu. 2.1 Peran Sekolah dalam Menyukseskan Program BOS di Kabupaten Belu
2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam kesuksesan program BOS di Kabupaten Belu? 2. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh dalam kesuksesan program BOS di Kabupaten Belu. 2.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Kesuksesan Program BOS di Kabupaten Belu

Dalam tampilan tersebut dapat diketahui tiga hal berikut. Pertama, rumusan masalah dikemukakan dalam kalimat tanya dengan kata-kata tanya “bagaimana” dan “apa” dan diakhiri tanda tanya. Kedua, rumusan tujuan dikemukakan dalam kalimat berita yang diawali dengan verba “memaparkan” dan “menjelaskan”. Ketiga, rumusan sub-sub isi atau bahasan dikemukakan dalam bentuk frasa benda.
3.2 Teknik-teknik Menguraikan Bagian Isi
Ada sepuluh teknik untuk menguraikan bagian isi. Sepuluh teknik itu adalah (1) pemberian contoh, (2) perbandingan dan kontras, (3) klasifikasi, (4) analisis proses, (5) analisis sebab-akibat, (6) (9) analogi, dan (10) definisi.
Teknik Pemberian Contoh.
Teknik ini diawali dengan mengemukakan kalimat topik (KT) kemudian diikuti dengan contoh-contoh (C). Dalam kalimat topik dikemukakan tesis atau gagasan pokok tentang suatu hal. Dalam contoh-contoh dikemukakan pelbagai contoh yang memperjelas gagasan pokoknya itu. Teknik ini dapat dirumuskan dengan “KT + C1 + C2 + Cn”. Mula-mula dalam paragraf tertentu kita tampilkan kalimat topik, kemudian diikuti dengan sejumlah contoh yang mendukung atau relevan.
Contoh:
Hutan di kawasan Jawa Timur mengalami rusak berat, bahkan musnah. Ini dapat ditemukan di kawasan barat, utara, timur, selatan, dan tengah. Hutan-hutan di kawasan Magetan, Madiun, dan Ponorogo sebagian besar telah berubah menjadi bukit-bukit tandus karena penebangan liar. Kawasan sekitar Sarangan dan Tawangmangu yang dulu dikenal memiliki hutan lebat, sekarang tinggal cerita.
Di kawasan x ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di kawasan y ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di kawasan z ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Teknik Perbandingan (Persamaan dan Kontras)
Teknik perbandingan menguraikan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dua hal yang dibandingkan. Perlu diketahui bahwa yang dibandingkan memiliki kesamaan derajat. Membandingkan nangka jawa dan cempedak kalimantan adalah tepat karena memiliki klasifikasi yang sama. Membandingkan cempedak kalimantan dengan pepaya thailand adalah tidak benar karena keduanya tidak dalam satu klasifikasi. Teknik persamaan diuraikan dengan menampilkan kalimat topik (KT) dan diikuti dengan paparan tentang persamaan-persamaannya (S), yang tentu saja lebih dari satu. Teknik ini dapat dirumuskan “KT + S1 + S2 + Sn”.
Contoh:
Batu dan Sarangan memiliki beberapa persamaan. Kedua daerah berada di dataran tinggi. Dengan demikian, selain kedua daerah itu berhawa dingin juga sama-sama penghasil sayur-sayuran yang berkualitas. Batu dan Sarangan juga merupakan tempat wisata yang potensial. Banyak turis, baik domestik maupun mancanegara, yang berkunjung dan tentu saja banyak membawa devisa yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Batu ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sarangan -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teknik kontras diuraikan dengan menampilkan kalimat topik (KT) dan diikuti dengan paparan tentang perbedaan-perbedaannya (B) yang tentu saja juga lebih dari satu. Teknik ini dapat dirumuskan “KT + B1 + B2 + Bn”.
Contoh:
Pantun dan syair memiliki beberapa perbedaan. Pertama, pantun berasal dari tanah Nusantara, syair berasal dari Jazirah Arab. Kedua, pantun dibangun dari sampiran dan isi, syair dibangun dari isi saja. Ketiga, pantun bersajak a-b-a-b, syair bersajak a-a-a-a.
Pantun ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syair -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teknik Analogi
Analogi adalah membandingkan sesuatu dengan hal yang lain. Dalam analogi yang ditekankan adalah persamaan-persamaannya. Teknik analogi dikemukakan dengan menampilkan kalimat topik (KT) dan diikuti dengan analogi (A) dalam kalimat penjelasnya. Teknik ini dapat dirumuskan dengan “KT + A1 + A2 + An”.
Contoh:
Lembaga pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan dapat disamakan dengan pabrik. Jika lembaga-lembaga pendidikan mengeluarkan lulusan-lulusannya, pabrik mengeluarkan produksinya. Suatu lembaga pendidikan yang berhasil mengeluarkan lulusan yang bermutu akan mendapat penilaian yang tinggi dari masyarakat, sebagaimana masyarakat juga menilai tinggi terhadap suatu pabrik yang menghasilkan produksi dengan mutu yang baik.
Produksi dengan mutu yang baik tentu mempunyai kemungkinan pemasaran yang baik. Dengan kata lain, produksi yang bermutu baik akan marketable. Pabrik penghasil produksi yang bermutu itu akan dikenal oleh masyarakat dan apabila tetap dapat mem-pertahankan mutu produksinya, dia akan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Begitu pula halnya dengan lembaga pendidikan. Apabila lulusannya bermutu, lulusan lembaga pendidikan tersebut akan mudah mencari pekerjaan karena lulusan-lulusannya dibutuhkan oleh ma-syarakat. Dengan demikian, lembaga pendidikannya pun akan mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat. Bila lembaga pendidikan itu dapat mempertahankan mutu lulusan-lulusannya, ia akan mendapat kepercayaan masyarakat. (Sumber: Suparno & Yunus, 2006)

Teknik Klasifikasi
Mengklasifikasikan berarti mengelompokkan barang, benda, objek, gagasan, atau masalah ke dalam kelompok tertentu. Dalam teknik klasifikasi, penulis mengelompokkan hal yang sudah dikemukakan dalam kalimat topiknya atas dasar kriteria pengelompokan tertentu. Teknik klasifikasi diuraikan dengan menampilkan kalimat topik (KT) yang berupa gagasan pokok pengklasifikasian, kemudian diikuti rincian klasifikasi (RK). Teknik ini dapat dirumuskan “KT + RK1 + RK2 + RKn”.
Contoh:
Dalam karang-mengarang (KM) atau tulis-menulis dituntut beberapa kemampuan antara lain (1) kemampuan yang berhubungan dengan kebahasaan dan (2) kemampuan pengembangan atau penyajian. Yang termasuk kemampuan kebahasaan adalah kemampuan menerapkan (a) ejaan, (b) pungtuasi, (c) kosakata, dan (d) kali-mat. Yang termasuk kemampuan pengembangan ialah (e) kemampuan menata paragraf, (f) kemampuan membedakan pokok bahasan, subpokok bahasan, dan (g) kemampuan menguraikan pokok bahasan ke dalam urutan yang sistematik.
Kemampuan menerapkan ejaan ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemampuan menggunakan pungtuasi --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemampuan menggunakan kosakata ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemampuan menggunakan kalimat -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemampuan menata paragraf -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teknik Analisis Proses
Memaparkan proses berarti memberi penjelasan tentang bagaimana bekerjanya sesuatu, bagaimana terjadinya sesuatu, bagaimana membuat sesuatu, dan bagaimana mengerjakan sesuatu. Teknik dipaparkan dengan mengemukakan kalimat topik yang diikuti dengan langkah-langkah secara berurutan. Teknik ini dapat dirumuskan “KT + L1 + L2 + Ln”.
Contoh:
Ada tiga langkah dalam memahami makna teks puisi. Ketiga langkah itu adalah (1) memastikan apa yang dikatakan oleh penyairnya, (2) memperkirakan makna tersirat dalam teks puisi itu, dan (3) menguji interpretasi sementara dengan membaca ulang teks puisi.
Langkah pertama berupa penafsiran makna tersurat atau makna literal puisi. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langkah kedua berupa penafsiran makna tersirat atau makna tersembunyi. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langkah ketiga berupa pemvalidasian perkiraan makna kata dan kalimat tersebut dalam wacana puisi secara utuh. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teknik Sebab-Akibat.
Teknik sebab-akibat adalah teknik penjabaran yang membahas sebab-sebab terjadinya sesuatu kemudian diikuti pembahasan mengenai akibat-akibatnya. Ada dua cara yang dapat ditempuh: (1) cara blok, dan (2) cara mata rantai. Dalam “cara blok”, alasan dan pengaruh dipaparkan dalam satu keutuhan tersendiri. Dalam “cara mata rantai”, alasan dan pengaruh dipaparkan secara sendiri-sendiri.
Contoh:
Gerakan kebebasan perempuan di sebagian besar belahan dunia dimulai pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka umumnya berjuang memperoleh kesempatan dan peranan lebih hampir di seluruh sektor kehidupan. Peranan tradisional sebagai isteri dan ibu perlu diperluas. Khusus di Amerika Serikat, gerakan tersebut dapat ditelusuri sebab musababnya dari tiga peristiwa penting, yakni (a) ditemukannya teknologi pengendali kelahiran, (b) ditemukannya teknologi penghemat urusan rumah tangga, dan (c) pecahnya perang dunia kedua.
Sebab pertama --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------. Dampak dari faktor pertama -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebab kedua ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dampak dari faktor kedua --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebab ketiga ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dampak dari faktor ketiga --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kesimpulannya adalah bahwa --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teknik Pemecahan Masalah
Teknik ini merupakan variasi sebab akibat. Pemecahan masalah bertolak dari hubungan kausal dilengkapi dengan alternatif pemecahannya. Teknik dapat dipaparkan dengan tiga kemungkinan: (1) satu masalah+satu pemecahan, (2) satu masalah+dua atau lebih pemecahan, dan (3) dua atau lebih masalah+satu pemecahan.
Contoh:
Sejak semula perencanaan penggalian Terusan Panama dihadapkan pada tiga masalah besar, yakni (1) politik, (2) geologi, dan (3) sosial. Ketiga masalah itu dipaparkan berikut.
Masalah politis ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masalah geologis --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------.
Masalah sosial -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada akhirnya, ketiga masalah besar tersebut menjadi wajar dan manusiawi. Tergalinya Terusan Panama adalah jawaban impian manusia selama berabad-abad untuk bisa berlayar ke arah barat, yakni Cina. Gagasan penggalian Terusan Panama memang telah ada sejak zaman Columbus. Penjelajah Spanyol itu menyadari bahwa setiap pelayaran ke barat, ke Cina, selalu terhalang oleh dua benua dan sederet daratan sempit. Jalur tersebut dapat dipersingkat dengan cara membuat sebuah terusan. Terusan Panama akhirnya dibuka tanggal 15 Agustus 1914 untuk memberikan solusi atas masalah yang menggunung selama empat abad.

Teknik Definisi
Mendefinisikan berarti memberi pengertian terhadap sebuah konsep tertentu. Ada beberapa macam definisi yang dapat digunakan, yakni (1) sinonim, (2) definisi formal, dan (3) definisi luas. Teknik ini dipaparkan dengan mengemukakan kata atau istilah kunci (IK) yang ditampilkan dalam kalimat topik yang kemudian diikuti dengan rumusan definisinya (D). Teknik ini dirumuskan dengan “KT + D1 + D2 + Dn”.
Contoh:
Ilmu kimia adalah cabang ilmu alamiah yang mempunyai tugas menyelidiki bahan-bahan yang menjadikan dunia. Ilmu kimia tidak berkaitan dengan bentuk-bentuk bahan-bahan itu dibangun. Benda-benda seperti kursi, meja, vas, botol, atau kawat tidak signifikan bagi ilmu kimia, tetapi substansi seperti gelas, wool, besi, belerang, dan tanah liat sebagai bahan-bahan untuk membuat benda-benda itu merupakan objek kajiannya. Ilmu kimia tidak hanya berkepentingan dengan komposisi substansi seperti itu, tetapi juga dengan struktur dalamnya.
Komposisi substansi -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Struktur dalam ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4. Menguraikan Bagian Penutup
Bagian penutup tulisan keilmuan lazim berisi ringkasan, simpulan, dan saran-saran (jika dipandang perlu). Jika berupa ringkasan, penutup berupa pemangkasan, pemadatan uraian asli. Berikut dikemukakan tujuh hal yang perlu diperhatikan dalam meringkas.
1. susunan/urutan gagasan dalam bahasan dipertahankan
2. ilustrasi dan contoh diabaikan
3. gagasan dinyatakan dalam kalimat asli penulis
4. informasi baru tidak boleh dimasukkan ke dalam ringkasan
5. pendapat penulis sendiri tidak boleh dimasukkan
6. ringkasan disajikan kurang lebih seperlima uraian bahasan
7. ringkasan penutup dinyatakan dalam paragraf ringkasan
Jika berupa simpulan, penutup berupa pemberian pendapat dengan ringkas berdasarkan uraian bahasan. Dalam menyimpulkan, penulis menyatakan pendapat keilmuan sendiri berdasarkan uraian bahasan.
5. Penutup
Paparan di atas mungkin saja masih bersifat terlalu umum karena tidak menampilkan problematika atau contoh-contoh yang spesifik. Akan tetapi, dengan berpraktik langsung menulis dan mengembangkan karya ilmiah kita akan semakin memahami liku-liku dan persoalan-persoalan praktis dalam menulis dan mengembangkan karya ilmiah itu. Selamat berpraktik! Selamat berproses! Selamat mengoptimalkan potensi diri. Merdeka!

DAFTAR RUJUKAN
Johannes, Herman. 1983. Gaya Bahasa Keilmuan. Dalam Halim, A. & Lumintaintang, Y.B. (Eds.), Kongres Bahasa Indonesia III (halaman 644—649). Jakarta: P3B.
Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Ende-Flores: PENERBIT NUSA INDAH.
Suparno & Yunus, Muhammad. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Buku Materi Pokok PGSD4303. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Suwignyo, Heri. & Santoso, Anang. 2007. Bahasa Indonesia Keilmuan: Berbasis Area Isi Keilmuan. Buku Ajar BIK. Malang: Universitas Negeri Malang


LAMPIRAN: FORMAT MAKALAH

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
(dirumuskan dalam kalimat pertanyaan)
1.3 Tujuan
(dirumuskan dalam kalimat deklaratif sesuai dengan rumusan masalah)
2. Bahasan (jabaran dari rumusan masalah)
2.1 (diisi sub judul sesuai dengan rumusan masalah 1, dan dijabarkan dengan berbagai teknik pengembangan)
2.2 (diisi subjudul sesuai dengan rumusan masalah 2, dan dijabarkan dengan berbagai teknik pengembangan)
2.3 (diisi sesuai dengan rumusan masalah 3, dan dijabarkan dengan berbagai teknik pengembangan))
2.4 dan seterusnya
3. Penutup
3.1 Simpulan
(jumlah simpulan harus sama dengan jumlah rumusan masalah)
3.2 Saran-saran
(sifatnya manasuka, boleh ada dan boleh tidak sesuai dengan karakter makalah yang dibuat)
Daftar Rujukan

(Dr. Anang Santoso adalah dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). Makalah dipresentasikan dalam Pelatihan bagi guru-guru SMA Center Bahasa, se-Kabupaten Belu di Atambua, Nusa Tenggara Timur, tanggal 13—19 Desember 2007.)

Minggu, 09 Mei 2010

NAFAS KREATIF, INOVATIF, DAN AKTIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Anang Santoso

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, UM

1. Pengantar

K

REATIF, KREATIF, KREATIF. INOVATIF, INOVATIF, INOVATIF. AKTIF, AKTIF, AKTIF. Itulah tiga kata kunci yang selalu dituntut kepada kita saat mengajar. Tiga istilah itu saling berkaitan dan saling kebergantungan. Jika kreatif, baguslah pembelajaran kita. Jika belum atau tidak kreatif, kurang baguslah pembelajaran kita. Jika penuh inovasi, acungan jempol layak diacungkan kepada pembelajaran kita. Jika tidak atau kurang inovasi, acungan jempol terbaliklah yang layak kita peroleh. Jika aktif, pembelajaran kita akan menyenangkan. Jika tidak aktif, pembelajaran tidak menyenangkan. Demikian seterusnya.

Pada tahun 1977—1980, ketika saya masih duduk di SMP, guru Bahasa Indonesia saya adalah guru favorit saya. Beliau amat “hebat” dalam mengajarkan mata pelajaran yang sebelumnya tidak begitu saya sukai itu. Beliau amat hebat dalam mengajarkan puisi “Aku”. Beliau amat hebat dalam mengajarkan menulis surat. Beliau amat hebat mengajarkan tata bahasa. Setelah sekarang baru saya sadar bahwa beliau itu adalah orang-orang yang “lebih hebat” dari “hebat”.

Saya juga mempunyai guru favorit lainnya, yakni guru matematika. Pak Kabul namanya. Beliau alumni PGSLP, bukan sarjana muda seperti guru yang lainnya. Beliau amatlah piawai dalam menerangkan konsep matematika yang tidak mudah kepada kami sehingga kami menjadi mudah memahaminya. Masalah-masalah matematika yang sering membuat kami pusing, seperti “himpunan”, “persamaan” dan “pertidaksamaan”, deret aritmatika, dan sebagainya dibelajarkan secara mudah.

Pada waktu itu, belum muncul pelbagai istilah pembelajaran yang sekarang menjadi arus besar dalam dunia pendidikan. Istilah-istilah seperti “pendekatan komunikatif”, “pendekatan kebermaknaan”, “pendekatan proses”, “manajemen berbasis sekolah”, “joyful learning”, quantum learning and teaching”, “contextual teaching and learning, “pembelajaran inovatif”, “kurikulum berbasis kompetensi (KBK)”, penilaian autentik, penilain berbasis kelas, dan sebagainya. Akan tetapi, apa yang dipertunjukkan kepada kami sudah memenuhi berbagai konsep dalam dunia kependidikan itu. Meskipun belum mengenal pelbagai istilah itu, mengapa beliau-beliau itu hebat dalam membelajarkan siswa?

Apa yang dapat kita petik dari paparan di atas adalah pentingnya peran utama guru dalam membelajarkan siswa. Kurikulum boleh berganti, teori belajar boleh terus lahir, pendekatan boleh bertambah, paradigma baru boleh menggulingkan paradigma lama, dan seterusnya. Akan tetapi, peran utama guru tetap menjadi fokus. Guru tetap menjadi aktor utama. Guru yang “banyak akal” tetap menjadi dambaan.

Apa yang masih kita ingat dari guru kita ketika mengajar lebih dari 30 tahun yang lalu? Tentu saja, guru yang mengajarnya biasa-biasa saja, tidak akan diingat siswa. Sebaliknya, guru yang ketika mengajarnya “banyak akal’ akan terus hidup dalam ingatan para mantan siswanya.

Guru yang “hebat” bagi saya adalah variabel yang amat penting dalam menyukseskan berbagai macam pembaharuan dalam kurikulum. Kurikulum boleh tidak sempurna, cacat, atau amburadul, tetapi “guru hebat” akan dapat mengolah kegiatan belajar mengajar menjadi bagus untuk menghasilkan keluaran yang dapat diandalkan. Yang penting kita semua adalah sikap “tidak mudah terkejut dan tidak mudah heran” dengan berbagai pendekatan baru itu. Marilah kita rayakan motto “3G”: GURU, GURU, GURU.

2. Pembelajaran Kreatif, Inovatif, dan Aktif: Beberapa Pengertian

Apakah pembelajaran kreatif itu? Pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang pelaksanaannya banyak diwarnai penciptaan-penciptaan baru. Apakah pembelajaran inovatif itu? Pembelajaran inovatif adalah bentuk pembelajaran yang pelaksanaannya dijiwai dan diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat pembaharuan. Apakah pembelajaran yang selama ini kita lakukan itu belum menunjukkan ciri inovatif? Jawabnya “sudah”, meskipun dengan tingkatan yang belum sepenuhnya kita harapkan. Apakah pembelajaran yang sudah berlangsung sampai hari ini itu salah sama sekali? Tidak. Pembelajaran yang selama ini kita lakukan mungkin saja masih kurang dijiwai dan diwarnai sifat “memperbarui” itu. Bukankah kita-kita yang hadir dalam forum ini adalah hasil dari pembelajaran yang hari ini kita “cela” dan kita “koreksi”?

Dengan demikian, persoalan inovatif dalam pembelajaran bukan persoalan ada atau tidak ada. Akan tetapi, persoalan inovatif bersifat kontinum, bersifat rentangan, dari sedikit inovasi sampai dengan penuh dengan inovasi, dari pembelajaran yang sedikit mengandung pembaharuan sampai pembelajaran yang penuh dengan pembaharuan.

Pertanyaannya adalah “mengapa pembelajaran yang sudah berlangsung selama ini kok dapat menghasilkan sesuatu yang membanggakan”? Tentu saja banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Misalnya, karena ketulusan Ibu dan Bapak Guru dalam mengajar, karena si peserta didik sudah bekerja keras dalam mencapai cita-cita, karena waktu itu belum ada pesaing yang tangguh, karena nasib, dan sebagainya. Banyak penjelasan yang dapat kita berikan.

3. Mengapa Harus “Kreatif”, Inovatif”, dan “Aktif”?

Mengapa pembelajaran harus “kreatif”, “inovatif”, dan “aktif”? Mengapa pembelajaran harus selalu identik dengan “penuh penciptaan”, “selalu menemukan sesuatu yang baru”, dan aktif berbuat? Tentu saja, banyak jawaban yang dapat dikemukakan, banyak argumen yang memperkuat perdebatan. Pertama, selama manusia hidup jika ingin dapat bertahan ia harus selalu berinovasi dan menciptakan sesuatu. Hidup identik dengan tantangan. Tidak ada waktu tanpa tantangan. Seorang guru, misalnya, akan selalu menghadapi tantangan terkait dengan dunia pendidikan. Misalnya, tantangan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada siswa, tantangan menemukan model-model pembelajaran yang cocok, tantangan untuk meningkatkan kualitas pribadi, tantangan untuk menggerakkan orang tua agar lebih terlibat dengan sekolah, dan sebagainya.

Kedua, inovasi dan penciptaan yang membuat manusia tetap disebut manusia. Secara filosofis, aspek utama dalam perkembangan peradaban manusia adalah “kreativitas” dan “inventivitas”. Kedua aspek itulah yang membedakannya dengan dunia binatang. Perkembangan paradigma pendidikan, teori pembelajaran, model baju, bentuk rumah, dan sebagainya adalah bukti bahwa ada sisi “perkembangan” pada kehidupan manusia. Pada kehidupan hewan tidak ada “perkembangan”. Burung manyar yang sering kita sebut dengan “hebat” karena dapat membuat rumah atau sarang yang tampak rumit itu ternyata tidak ada dimensi “kreativitas” dan “inventivitas”-nya. Sejak dahulu bentuk dan model rumah manyar tidak ada perubahan dan tidak ada perkembangan.

Ketiga, inovasi dan penciptaan membuat masyarakat dapat bersaing dengan masyarakat lainnya. Ungkapan homo homini lupus ‘manusia itu serigala bagi manusia lainnya’ perlu ditafsirkan secara positif. Agar tidak menjadi mangsa bagi manusia lainnya dan agar dapat “memangsa” manusia lainnya, manusia haruslah selalu mengembangkan inovasi. Dengan inovasi manusia dapat menemukan terobosan-terobosan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Masyarakat dan negara yang sekarang disebut dengan “negara maju” adalah masyarakat yang berhasil mengembangkan inovasi-inovasi itu.

4. Pelajaran dari Konfusius dan Silberman

Marilah kita camkan lagi pernyataan Konfusius, seorang filsuf yang mashur dari Tanah Tiongkok, yang dikemukakannya lebih dari 2400 tahun silam.

· YANG SAYA DENGAR, SAYA LUPA

· YANG SAYA LIHAT, SAYA INGAT

· YANG SAYA KERJAKAN, SAYA PAHAMI

Nasihat mulia Konfusius di atas sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pembelajaran. Tiga kata kerja, yakni “dengar”, “lihat”, dan “kerjakan” adalah aktivitas yang identik dengan pembelajaran. Kita selalu melakukan aktivitas mendengar, melihat, dan mengerjakan sesuatu dalam belajar. Yang perlu dicamkan adalah bahwa ketiga kata kerja memiliki implikasi yang tidak sama. Mana yang kita inginkan, aktivitas “dengarà lupa”, “lihatà ingat”, atau “kerjakanà paham”? Tentu saja, aktivitas “kerjakanà paham”-lah yang kita inginkan.

Oleh Silberman, seorang guru besar Psikologi Pendidikan dari Temple University, rumus Konfusius di atas dikembangkan dan dimodifikasikan seperti berikut.

AKTIVITAS

EFEK

· Saya MENDENGAR

à

· Saya LUPA

· Saya MENDENGAR & MELIHAT

à

· Saya SEDIKIT INGAT

· Saya MENDENGAR, MELIHAT, & MEMPERTANYAKAN/ MENDISKUSIKAN

à

· Saya MULAI PAHAM

· Saya MENDENGAR, MELIHAT, MEMBAHAS, & MENERAPKAN

à

· Saya MENDAPATKAN PENGETAHUAN & KETERAMPILAN

· Saya MENGAJARKAN kepada orang lain

à

· Saya MENGUASAI

Sumber: Silberman (2006:23)

Semakin lengkaplah pemahaman kita bahwa jika kita menghendaki siswa atau peserta didik menguasai ilmu pengetahuan yang kita ajarkan maka anak diharapkan tidak hanya mendengar dan melihat saja. Anak harus lebih banyak melakukan aktivitas mulai mendengar, melihat, membahas, dan menerapkan agar apa yang kita ajarkan itu menjadi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh anak.

5. Posisi Pembelajaran Kreatif, Inovatif, dan Aktif: Dari P(A)(K)EM ke P(A)(K)EM(I)

Pada awalnya, pembelajaran haruslah memiliki ciri-ciri “aktif”, “kreatif”, “efektif”, dan “menyenangkan”. Pembelajaran di sekolah yang akhirnya lebih dikenal dengan nama PAKEM ini semula dicanangkan di TK dan SD. Pendidikan yang peserta didiknya masih pada tahap “awal belajar” ini meniadakan ciri-ciri “pasif”, “stagnan”, “boros”, dan “membosankan”. Seluruh sistem pendidikan harus dapat mendorong subjek didik untuk menjadi aktif, kreatif, efektif, dan senang selama mereka mengalami proses belajar. Guru yang terlalu dominan dan menguasai kelas yang memungkinkan anak tidak dapat berbuat aktif tidak dikehendaki dalam PAKEM. Guru yang hanya mengandalkan “pengalaman-pengalaman” lama yang mungkin saja membosankan dan sudah kadaluarsa serta tidak mencoba menemukan sesuatu yang baru tidak mendapatkan tempat dalam PAKEM. Pembelajaran yang tidak berfokus kepada kompetensi dasar (KD) yang terumuskan dalam kurikulum yang memungkinkan terjadinya pemborosan tenaga, waktu, dan biaya, serta salah sasaran bertolak belakang dengan hakikat PAKEM. Pembelajaran yang berlangsung secara tegang, mencekam, tidak ada humor yang konstruktif dan fungsional yang membuat siswa tegang, serta tidak ada senyum yang membuat siswa takut sangat dibenci oleh PAKEM.

Di manakah letak pembelajaran inovatif dalam PAKEM? Perkembangan terbaru PAKEM menyertakan kata “inovatif” di dalamnya. Terbentuklah akronim atau singkatan PAKEMI. Jika demikian, perluasan konsep PAKEM menjadi PAKEMI menuntut sekolah untuk dapat menindaklanjuti dalam pembelajarannya. Pengajaran dan pembelajaran tidak hanya “aktif”, “kreatif”, “efektif”, dan “menyenangkan” saja, tetapi juga inovatif. Jika demikian, pembelajaran yang sudah menerapkan konsep PAKEM selama ini tinggal menyempurnakannya dengan menambah kegiatan-kegiatan yang inovatif. Menurut pandangan saya, pembelajaran dengan mengaplikasikan PAKEM yang sukses berimplikasi terhadap munculnya semangat inovatif dalam pembelajaran di sekolah. Siswa yang dapat aktif dan kreatif selama di kelas dapat mengoptimalkan seluruh perangkat rohani yang dimilikinya. Jika perangkat rohani dapat dioptimalkan, semangat-semangat inovatif dapat diharapkan.

Semangat inovatif dapat ditumbuhkan melalui kegiatan-kegiatan sekolah yang sifatnya “berpetualang”, “memecahkan masalah”, dan “lain dari biasanya”. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, misalnya KD berwawancara dengan tokoh masyarakat, tidak hanya berkutat di dalam kelas saja. Ia dapat dikemas melalui kunjungan ke lapangan, misalnya ke kantor polisi untuk mewawancarai polisi, atau ke pasar untuk mewawancarai pedagang yang sukses.

6. Apa yang Perlu Dilakukan dalam P(A)(K)EM(I)

6.1 Paradigma Pendidikan yang Cocok

Untuk menunjang dan mendasari pembelajaran inovatif, pendidikan khususnya pembelajaran, haruslah menempatkan dan mengambil cara pandang konstruktivisme. Constructivism adalah salah satu filsafat yang percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus-menerus dan setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemahaman baru.

Menurut cara pandang konstruktivistik mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Kata-kata kunci dari pandangan Konfusius dan Silberman yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan sangatlah bercorak konstruktivistik.

6.2 Penumbuhan Kegemaran Membaca

Mengapa membaca itu penting? Membaca berpengaruh terhadap pengembangan potensi anak. Penelitian Ravitch & Finn menunjukkan bahwa membaca berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif anak. Membaca membuat orang lebih cerdas. Penelitian Simonton juga menunjukkan hasil yang senada bahwa kegemaran membaca pada masa kanak-kanak berkorelasi positif terhadap keberhasilan pada masa dewasa. Kebiasaan membaca adalah cara yang dapat membekali pembaca dengan pengetahuan yang luas.

Beberapa kegiatan yang dapat diterapkan sekolah untuk menumbuhkan kebiasaan membaca. Pertama, menjadwalkan kunjungan ke perpustakaan sekolah secara periodik (misalnya sekali seminggu). Perpustakaan itu sumber pengetahuan. Kepada anak-anak perlu ditanamkan kecintaan dan kebutuhan akan perpustakaan. Pada tahap selanjutnya anak menjadi pembelajar yang mandiri. Perpustakaan perlu memantau perkembangan kebiasaan membaca anak dengan merekam jumlah buku yang dibaca. Siswa diberi kesempatan untuk melaporkan apa yang sudah dibacanya (judul, pengarang, sinopsis sederhana, & komentar)

Kedua, mengadakan perpustakaan kelas. Lingkungan anak yang kaya bacaan akan mengundang anak untuk membaca. Untuk itu perlu perpustakaan kelas. Jika mengalami kesulitan, sekolah dapat mengikutsertakan orang tua dalam pengadaan perpustakaan kelas. Koleksi pustaka perlu diperbaharui secara periodik.

Ketiga, menerapkan USSR (Uninterupted Sustained Silent Reading). USSR dapat dilakukan rutin setiap hari (10—45 menit). Semakin tinggi kelas semakin lama kegiatan membacanya. Anak-anak membaca mandiri dalam hati selama waktu tertentu secara terus-menerus tanpa interupsi. Anak-anak tidak boleh melakukan kegiatan apa pun selain membaca. Prosedur yang dapat ditempuh (1) materi terserah pilihan anak, (2) siswa tidak perlu dibebani dengan tugas yang sulit (kecuali merekam judul, pengarang, dan komentar singkat, (3) guru tidak perlu dibebani dengan tugas koreksi, dan (4) sekolah dapat memberi nama kegiatan ini dengan nama, misalnya: “membaca ...yes”, “membaca...ok”, “membaca ... oye”, “membaca ... magetan”, atau yang lain.

Keempat, mengadakan dialog buku (book talks). Siswa saling berbagi tentang bacaan yang telah dibacanya. Kegiatan dapat dirancang melalui diskusi kelas, diskusi kelompok, atau studium generale, & bersifat suka rela. Bahkan, bisa saja seorang murid yang pemalu, misalnya, dapat berdiskusi dengan gurunya saja seorang diri.

Kelima, membacakan bacaan pada anak-anak dengan bersuara (read aloud) secara rutin. Guru membacakan sebuah buku dengan bersuara dan anak-anak menyimak. Buku yang dibaca disesuaikan dengan minat dan usia perkembangan anak. Usahakan agar pembacaannya menarik. Agar anak terlibat, sebelum buku dibaca, tunjukkan judul, pengarang, ilustrasi bacaan, & selanjutnya anak-anak disuruh menerka isi bacaan. Saat membaca guru merencanakan perlu berhenti di bagian tertentu, minta anak untuk komentar tentang yang sudah dibaca, dan memprediksi cerita selanjutnya. Usai dibaca, anak diberi kesempatan menghubungkannya dengan pengalaman hidup mereka, atau menghubungkannya dengan buku-buku lain yang sudah mereka baca.

6.3 Guru yang Konstruktivistik

Guru konstruktivistik (GK) adalah guru yang memberikan peluang dan kesempatan berkembang anak didiknya. GK tidak tersinggung dengan peran-peran yang harus dimainkan oleh peserta didik abad informasi. Secara ekstrem dirumuskan bahwa guru (atau siapa pun) tidak dapat memaksa siswa untuk belajar sebab tidak ada seorang pun yang dapat “mengatur” proses berpikir orang lain. Guru hanyalah menyiapkan kondisi yang memungkinkan siswa belajar, namun apakah siswa benar-benar belajar bergantung sepenuhnya pada diri pembelajar itu sendiri.

Dalam pembelajaran, GK selalu berusaha agar seluruh kegiatannya di dalam kelas memberikan peluang siswa untuk selalu menemukan sesuatu yang baru. GK selalu memberikan peluang-peluang siswa mencari terobosan baru.

GK akan selalu memiliki daya cipta, strategi baru, dan melepaskan dari rutinitas pada saat situasi memerlukan perubahan. Ia tidak sulit untuk menye-suaikan diri dengan situasi dan kondisi baru. Keberanian untuk tidak terjebak pada sesuatu yang rutin adalah nilai tambah bagi GK.

6.4 Penataan Ruang Kelas yang Variatif

Lingkungan fisik dalam kelas dapat mendukung atau menghambat kegiatan belajar aktif, kreatif, dan inovatif. Tidak ada satu susunan yang mutlak ideal. Ruang tempat siswa beraktivitas ditata sedemikian rupa agar mudah dibentuk dengan pelbagai macam formasi. Penataan bangku dengan bentuk tradisional (siswa menghadap ke papan tulis/ke guru) perlu lebih divariasikan. Banyak bentuk penataan yang dapat dipilih, mulai bentuk U, meja konferensi, lingkaran, model auditorium, dan sebagainya.

Dengan variasi susunan itu, siswa memperoleh pelbagai pengalaman yang kaya dan dalam. Ia berpengalaman berhadapan dengan pelbagai karakter teman-nya, berpengalaman berdiskusi dengan pelbagai orang, berpengalaman berbagi dengan banyak kepala, berpengalaman memecahkan masalah dengan berbagai cara pandang. Akhirnya, siswa memperoleh pengalaman rohani yang beragam yang selanjutnya dapat memicu munculnya ide-ide inovatif.

6.5 Pemilihan Metode yang Mengaktifkan Siswa

Kegiatan belajar aktif, kreatif, dan inovatif tidak dapat berlangsung tanpa partisipasi siswa. Guru dapat memilih metode pembelajaran yang dapat membuat siswa lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Secara periodik, misalnya, setiap satu semester sekali, sekolah atau kelas dapat mengadakan “kuliah kerja lapangan” atau out-bound di sekitar sekolah. Banyak manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan ini antara lain sebagai berikut.

  • Siswa senang mendapat tantangan baru.
  • Siswa belajar mendapat tanggung jawab lebih.
  • Siswa mendapat banyak pengalaman yang mungkin saja tidak ditemukan di sekolah dan di rumah.
  • Siswa senang berpetualangan.
  • Siswa belajar lebih memahami kepribadian orang lain.
  • Siswa berlatih hidup mandiri, sekaligus terikat oleh kelompoknya.
  • Siswa dapat membuat lebih banyak pilihan-pilihan cerdas.

6.6 Perancangan Tugas yang Bersahabat

Tugas yang dirancang haruslah bervariasi sehingga dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Tugas dirancang dengan mengoptimalkan seluruh fisik dan psikis anak.

  • Mendiskusikan sebuah dokumen singkat secara bersama
  • Mewawancarai satu sama lain tentang reaksi terhadap bacaan.
  • Memberikan kritik karya tertulis sejawat.
  • Mengajukan pertanyaan kepada pasangan tentang teks yang dibaca.
  • Membuat ikhtisar dari teks yang dibaca bersama
  • Membuat ikhtisar dari teks yang dibaca di perpustakaan sekolah.
  • Menyusun pertanyaan bersama yang diajukan kepada guru.
  • Menganalisis soal cerita, latihan, atau eksperimen secara bersama.
  • Mengetes sesama sejawat.
  • Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.
  • Membandingkan catatan dengan sejawat tentang pelajaran yang baru saja diterima.

7. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang KIA

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hendaknya mengembangkan keterampilan berbahasa dan bersastra. Keterampilan berbahasa dan bersastra itu adalah membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Pada umumnya, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hendaknya memperhatikan beberapa hal. Hal yang dimaksud adalah (1) banyak (jumlah), (2) berkali-kali (keseringan), (3) unik (khas pembelajaran bahasa dan sastra), dan (4) menantang. Jika ingin pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berhasil, guru hendaknya membelajarkan siswa untuk menulis sebanyak mungkin, sesering mungkin dengan pembelajaran yang unik dan bahan yang menantang. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran membaca, menyimak, dan berbicara.

Selain hal itu, kita sudah mengenal istilah PAKEMI (pembelajaran, aktif, kreatif, efektif, menarik, dan inovatif). Berikut ini akan diuraikan secara singkat, bagaimana pembelajaran masing-masing keterampilan berbahasa dan kemampuan bersastra yang inovatif.

7.1 Pembelajaran Membaca Inovatif

Mengapa perlu pembelajaran membaca yang inovatif? Beberapa jawaban atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut. Pembelajaran membaca yang inovatif dapat mengembangkan kecepatan membaca siswa secara dramatis; meningkatkan pemahaman dan daya ingat; menambah perbendaharaan kata dan menambah bank data; membaca secara singkat; berekreasi dengan membaca. (lihat DePorter dan Hernacki, 2003: 245). Selain itu, sesuai dengan standar kompetensi dalam kurikulum, diharapkan siswa mampu membaca berbagai ragam teks; menganalisis informasi dan gagasan; memberikan komentar, menyeleksi dan mensintesiskan informasi dari berbagai sumber (Kurikulum 2004).

Ada beberapa hal yang bisa dibahas dalam membicarakan pembelajaran membaca yang inovatif. Hal yang dimaksud antara lain adalah (1) proses pembelajaran membaca, (2) bahan pembelajaran, (3) hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran membaca. Berikut ini akan dibahas satu per satu secara singkat.

Proses Pembelajaran Membaca

Bagaimana proses pembelajaran membaca yang diharapkan? Dalam pembelajaran membaca, guru dapat membelajarkan siswa membaca nyaring, membaca dalam hati (ekstensif dan intensif), membaca telaah isi (membaca teliti, pemahaman, kritis, ide) (Tarigan, 1993). Guru juga bisa membelajarkan membaca berdasarkan isi bacaan (ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, sains), medianya (majalah, koran, kamus, buku telepon, buku teks), jenis bacaan (popular, serius, cerpen, puisi, drama). Guru juga bisa membelajarkan membaca dengan cara (1) membaca bersama (2) membaca terbimbing, (3) pendekatan pengalaman bahasa, (4) studi kata, (5) terus membaca diam, membaca mandiri (Cox,1999).

Bahan Pembelajaran Membaca

Mulailah pembelajaran membaca dengan bahan yang akrab dan menyenangkan siswa tetapi masih mengandung informasi yang kira-kira tidak diketahui siswa (akrab, menyenangkan, dan menantang). Kedua, bahan membaca harus bervariasi dalam hal isi, bahasa, dan penyajiannya.

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pembelajaran Membaca

Beberapa hal yang perlu dikatakan kepada siswa tentang membaca. Guru hendaknya menanamkan dan meyakinkan kepada siswa bahwa membaca itu mudah. Siswa mampu menjadi pembaca yang hebat. Siswa dapat membaca dengan cepat dan memahami is bacaannya (DePorter dan Hernacki, 2003:253).

Ada beberapa kiat untuk membaca. Siswa diminta untuk mempersiapkan diri. Kita perlu menciptakan suasana sehat untuk membaca dan meminimalkan gangguan. Siswa hendaknya duduk dengan sikap tegak. Sebelumnya, siswa diminta untuk beberapa saat untuk menenangkan pikiran. Siswa diminta untuk membaca dengan menggunakan jari atau benda lain sebagai petunjuk. Siswa diminta untuk melihat sekilas bahan bacaan sebelum memulai membaca (DePorter dan Hernacki, 2003:255).

DePorter dan Hernacki (2003:265) mengenalkan kiat untuk memahami bacaan. Mereka menyarankan agar kita menjadi pembaca yang aktif. Kita hendaknya membaca gagasannya, bukan kata-katanya. Kita hendaknya melibatkan seluruh indra kita. Kita hendaknya menciptakan minat. Terakhir, kita hendaknya membuat peta pikiran bahan bacaan tersebut.

Untuk meningkatkan kecepatan dan pemahaman, DePorter dan Hernacki, (2003:279) menyarankan agar kita mengikuti rutinitas ini selama sepuluh menit setiap hari. (1) Pilihlah tempat yang tenang untuk membaca. (2) Periksalah fisiologi Anda. (3) Lihat buku itu sekilas selama satu menit. (4) Putar balik buku itu dan berlatihlah membalik-balik halaman. (5) Putar kembali buku itu dalam posisi yang benar. (6) Lihatlah ke langit-langit dan pikirkan tentang suatu tempat yang damai. (7) Tarik napas dalam-dalam. (8) Lihatlah ke arah buku dan mulai membaca. (9) Balikkan halaman secara benar. (10) Gunakan jari-jari Anda dan ikuti suatu pola. (11) Ajukan pertanyaan pada diri Anda saat membaca.

Semua jenis membaca perlu dilatihkan dan ada gunanya. Membaca regular biasanya digunakan untuk bacaan santai atau ringan. Membaca skimming (melihat dengan cepat) adalah cara membaca seperti kita melihat buku telepon atau kamus. Membaca Scanning (melihat sekilas) adalah cara membaca seperti kita membaca Koran. Membaca kecepatan tinggi (warp speed) adalah membaca dengan kecepatan tinggi dan dengan pemahaman yang menakjubkan (DePorter dan Hernacki, 2003:267).

7.2 Pembelajaran Menulis Inovatif

Menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). Otak kiri berkaitan dengan perencanaan, outline, tata bahasa, penyuntingan, penulisan kembali, penelitian, tanda baca. Otak kanan berkaitan dengan semangat, spontanitas, emosi, warna, imajinasi, gairah, unsur baru, kegembiraan (DePorter dan Hernacki, 2003:179).

Mengapa kita perlu pembelajaran menulis yang inovatif? Dengan ini, siswa dapat menemukan teknik-teknik curah gagasan (brainstorming) yang cepat dan mudah. Siswa dapat menciptakan bahasa yang hidup dengan menggunakan cara dan ungkapan siswa sendiri. Siswa melakukan proyek penulisan dariu awal hingga akhir dengan hanya sedikit stress. Akhirnya siswa selalu berharap untuk menulis (DePorter dan Hernacki, 2003:177). Selain itu, ini juga agar siswa mampu untuk menulis karangan fiksi dan nonfiksi dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif untuk menimbulkan efek dan hasil tertentu.

Bagaimana caranya mengatasi hambatan-hambatan masalah lembaran kosong? Caranya dengan menulis cepat. Bagaimana cara menulis cepat? DePorter dan Hernacki (2003:187) menyarankan beberapa hal untuk menulis cepat. (1) pilihlah suatu topik. (2) Gunakan timer untuk jangka waktu tertentu. (3) Mulailah menulis secara kontinu walaupun apa yang Anda tulis adalah: “Aku tak tahu apa yang harus kutulis!”. (4) Saat timer berjalan, hindari pengumpulan gagasan, pengaturan kalimat, pemeriksaan tata bahasa, pengulangan kembali, mencoret atau menghapus sesuatu. (5) Teruskan hingga waktu habis dan itulah saatnya berhenti.

Ada beberapa hal yang bisa dibahas dalam membicarakan pembelajaran menulis yang inovatif. Hal yang dimaksud antara lain adalah (1) proses pembelajaran menulis, (2) bahan pembelajaran, (3) hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran menulis. Berikut ini akan dibahas satu per satu secara singkat.

Proses Pembelajaran Menulis

Bagaimana proses pembelajaran menulis yang diharapkan? Dalam pembelajaran menulis, guru dapat membelajarkan siswa berbagai macam keterampilan menulis (menulis cepat, menulis indah). Guru juga bisa membelajarkan menulis berdasarkan isinya (ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, sains), medianya (majalah, koran, kamus, buku, jurnal, portofolio), jenis tulisan (popular, serius, cerpen, puisi, drama).

Bahan Pembelajaran Menulis

Mulailah pembelajaran menulis dengan bahan yang akrab dan menyenangkan siswa tetapi masih mengandung informasi yang kira-kira tidak diketahui siswa (akrab, menyenangkan, dan menantang). Kedua, bahan menulis harus bervariasi dalam hal isi, bahasa, dan penyajiannya.

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pembelajaran Menulis

Ada proses menulis yang efektif untuk semua bentuk tulisan. Proses (1) pramenulis (2) penulisan, (3) penulisan kembali dan (4) publikasi (Farris, 1993:182). Tahapan menulis yang lebih rinci dikemukakan Tompkins (1994:182) yaitu pramenulis, penulisan draf, revisi, penyempurnaan, dan publikasi. Ada juga yang membagi atas persiapan, draft kasar, berbagi, memperbaiki, penyuntingan, penulisan kembali, evaluasi (lihat DePorter dan Hernacki, 2003:195).

DePorter dan Hernacki (2003:199) memberikan kiat-kiat untuk memperlancar penulisan. Kiat-kiat itu adalah: mulailah secepatnya, putarlah musik, cari waktu yang tepat, berolah ragalah, bacalah apa saja, mengelompok-kelompokkan pekerjaan, gunakan warna-warna.

DePorter dan Hernacki (2003:201) juga mengemukakan kiat-kiat supaya tidak mengalami hambatan menulis. Kita disarankan untuk menghemat kertas kesayangan kita. Kita hendaknya menempatkan diri pada sisi yang lain. Mereka menyarankan agar kita menyingkir dari tulisan kita. Kita perlu melanggar aktivitas rutin kita. Kita perlu mengganti alat-alat tulis. Lingkungan kita perlu kita ubah. Terakhir, kita perlu berbicara kepada oran lain tentang proyek kita.

7.3 Pembelajaran Menyimak Inovatif

Dalam Kurikulum 2004 ada beberapa hal yang dituntut dari siswa berkenaan dengan kemampuan menyimak. Siswa hendaknya berdaya tahan dalam berkonsentrasi mendengarkan berbagai konteks sampai dengan seratus dua puluh menit dan mampu memahami dan peka terhadap gagasan, pandangan, dan perasaan orang lain secara lengkap dalam uraian, khotbah, pidato, ceramah, dialog, dan film serta mampu memberikan pendapat dan penilaian.

Ada beberapa hal yang bisa dibahas dalam membicarakan pembelajaran menyimak yang inovatif. Hal yang dimaksud antara lain adalah (1) proses pembelajaran menyimak, (2) bahan pembelajaran, (3) hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran menyimak. Berikut ini akan dibahas satu per satu secara singkat.

Proses Pembelajaran Menyimak

Bagaimana proses pembelajaran menyimak yang diharapkan? Dalam pembelajaran menyimak, guru dapat membelajarkan siswa berbagai macam keterampilan menyimak (menyimak cepat, menyimak pemahaman). Guru juga bisa membelajarkan menyimak berdasarkan isinya (ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, sains), medianya (radio, televisi, telepon, tape, VCD, DVD), jenis bahan simakan (popular, serius, cerpen, puisi, drama). Guru dapat mengembangkan kemampuan menyimak siswa melalui pertanyaan, problem solving dan brainstorming, pengelompokan dan pemetaan, membaca bersuara bercerita, wawancara, dan bercerita (lihat Cox, 1999).

Bahan Pembelajaran Menyimak

Mulailah pembelajaran menyimak dengan bahan yang akrab dan menyenangkan siswa tetapi masih mengandung informasi yang kira-kira tidak diketahui siswa (akrab, menyenangkan, dan menantang). Kedua, bahan menyimak harus bervariasi dalam hal isi, bahasa, dan penyajiannya.

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pembelajaran Menyimak

Ada beberapa hal yang perlu dilatihkan kepada siswa dalam menyimak. Pertama, siswa diminta utuk mendengarkan secara aktif. Sebelum dan pada saat menyimak, mereka diminta untuk terus mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri berkaitan dengan bahan yang disimak. Kedua, siswa diminta untuk mengamati secara cermat. Setiap pembicara mempunyai gaya yang khas. Untuk itu, pendengar pelu memperhatikan ekspresi wajah, gerak-gerik, gerakan tubuh, dan nada suara pembicara. Pembicara mungkin akan mengulangi gagasan-gagasan yang dirasa penting. Ia juga akan menulis atau menunjukkan sesuatu yang penting pada saat ia berbicara. Ketiga, siswa diminta untuk berpartisipasi. Mereka tidak hanya mendengar, tetapi mereka perlu bertanya jika mereka tidak mengerti. Mereka juga bisa memberikan informasi tambahan dari informasi yang diberikan pembicara. Keempat, sebelum mendengarkan, biasakan siswa untuk mempersiapkan diri dengan membaca atau mencari informasi tentang bahan yang akan dibicarakan. Hal ini akan memudahkan dia untuk mendengarkan bahan yang disimaknya.

7.4 Pembelajaran Berbicara Inovatif

Ada beberapa hal yang bisa dibahas dalam membicarakan pembelajaran berbicara yang inovatif. Hal yang dimaksud antara lain adalah (1) proses pembelajaran berbicara, (2) bahan pembelajaran, (3) hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berbicara. Berikut ini akan dibahas satu per satu secara singkat.

Proses Pembelajaran Berbicara

Dalam Kurikulum 2004 ada beberapa hal yang dituntut dari diri siswa berkaitan dengan kemampuan berbicara. Siswa hendaknya mampu menyampaikan ceramah; berdiskusi dalam seminar; menyakinkan orang lain, memberi petunjuk, menjelaskan suatu proses secara rici, mengaitkan berbagai peristiwa, mengkritik, dan berekspresi dalam berbagai keperluan dan konteks.

Dalam pembelajaran berbicara, guru dapat membelajarkan siswa berbagai macam keterampilan berbicara (berbicara cepat, berdiskusi, berdebat, berpidato, berbicara indah). Guru juga bisa membelajarkan berbicara berdasarkan isinya (ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, sains), medianya (radio, televisi, telepon, tape, VCD, DVD), jenis bahan pembicaraan (popular, serius, cerpen, puisi, drama). Guru dapat mengembangkan kemampuan berbicara siswa melalui pertanyaan, problem solving dan brainstorming, pengelompokan dan pemetaan, membaca bersuara bercerita, wawancara, dan bercerita (lihat Cox, 1999).

Bahan Pembelajaran Berbicara

Mulailah pembelajaran berbicara dengan bahan yang akrab dan menyenangkan siswa tetapi masih mengandung informasi yang kira-kira tidak diketahui siswa (akrab, menyenangkan, dan menantang). Kedua, bahan berbicara harus bervariasi dalam hal isi, bahasa, dan penyajiannya.

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pembelajaran Berbicara

Mulailah berbicara tentang topik yang mudah, dekat, dikenal, akrab, dan menyenangkan siswa tetapi masih mengandung informasi yang kira-kira tidak diketahui siswa (akrab, menyenangkan, dan menantang). Kedua, bahan berbicara harus bervariasi dalam hal isi, bahasa, dan penyajiannya.

8. Penutup

Melaksanakan pembelajaran inovatif harus menjadi agenda dalam setiap aktvitas sebagai guru. Tantangan yang semakin besar untuk segala bidang menantang guru untuk mempersiapkan siswa menjadi calon generasi yangt berkualitas. Tidak bisa tidak, inovatif adalah kebutuhan. Inovatif, inovatif, inovatif. Selamat berseminar. Selamat melaksanakan pembelajaran yang membuat siswa dapat menjadi lebih aktif, lebih kreatif, dan lebih inovatif. Semoga pembahasan ini bermanfaat. Amin.

DAFTAR RUJUKAN

Aleinikov, Andrei G. 2004. Megakreativitas. Yogyakarta: Niagara

Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts: A Student-and Response-Centered Classroom. Boston: Allyn and Bacon

Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas

DePorter, Bobbi dan Hernacki, Mike. 2003. Quantum Learning. Bandung: Kaifa

Greene, Rebecca. 2006. Belajar Tak Hanya di Sekolah. Terjemahan oleh Valentinus Eric. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Penerbit Nusamedia.

Suyanto, Kasihani K.E. 2008. Model-model Pembelajaran. Naskah Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di PSG Rayon 15. Malang: Panitia Setifikasi Guru Rayon 15, Universitas Negeri Malang.

Yamin, Martinis. 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: Penerbit Gaung Persada Press (GP Press).